“Hegh......masih
jam sepuluh,” gumamku tak jelas.
Entah sudah berapa kali aku
melihat jam di tanganku hanya untuk kecewa. Padahal terakhir kali aku melihat,
jarum panjang masih bertengger di samping angka sebelas. Mengapa 5 menit
rasanya lama sekali? Berita bagusnya,
kelas ini masih akan berlangsung 40 menit ke depan.
“Kondisi
inilah yang memicu burung Finch untuk mengembangkan jenis paruh yang
berbeda-beda,” kata-kata guru botak di depan kelas itu masih menguasai kelas.
Huft.......burung Finch
lagi, ujung-ujungnya pasti teori-tak-berdasar, Seleksi Alam. Membosankan. Kalau
sudah begini, paling nyaman jika bersandar di kursi, tangan bersedekap, dan
mata memantau ke penjuru kelas. Yah......posisi
duduk di pojok kiri belakang memang menyenangkan.
Untuk beberapa saat, mata, telinga, dan otakku masih nyambung. Tak lama kemudian mataku memang masih scanning, tapi telingaku offline, dan otakku browsing entah kemana. Sampai akhirnya sebutir kapur melayang ke meja di barisan belakang. Tapi bukan ke tempatku.
Untuk beberapa saat, mata, telinga, dan otakku masih nyambung. Tak lama kemudian mataku memang masih scanning, tapi telingaku offline, dan otakku browsing entah kemana. Sampai akhirnya sebutir kapur melayang ke meja di barisan belakang. Tapi bukan ke tempatku.
“Kael!
Sedang apa kau?” tanya (atau lebih tepatnya bentak) guru botak itu.
Sekali lagi kutegaskan,
bukan kepadaku, namun pada anak laki-laki di seberangku, yang duduk di pojok
kanan belakang.
“Kamu
tidak mendengarkan bapak?” tanya guru itu mulai tak sabar.
Si anak justru semakin
diam, tak bergerak. Dia Kael, lengkapnya Mikael Hidaya. Nama aneh, seaneh
orangnya. Setiap waktu hanya menggambar yang dilakukannya. Tak pernah kudengar
ia bicara, selalu menunduk, dan misterius, seakan-akan gerhana selalu
mengikutinya.
Pak Johan, guru botak itu, kehilangan kesabaran. Ia berjalan ke arah Mikael, yang sekarang duduk tegak (dan kepala menunduk) salah tingkah dan ketakutan, tak tahu apa yang harus dikatakannya. Jangan harap teman-teman sekelas yang lain iba, mereka justru berusaha sekuat tenaga menahan tawa.
Pak Johan, guru botak itu, kehilangan kesabaran. Ia berjalan ke arah Mikael, yang sekarang duduk tegak (dan kepala menunduk) salah tingkah dan ketakutan, tak tahu apa yang harus dikatakannya. Jangan harap teman-teman sekelas yang lain iba, mereka justru berusaha sekuat tenaga menahan tawa.
“Gambar
apa ini, hah? Dijelaskan malah menggambar seenaknya sendiri,” ujar Pak Johan
sambil meraih buku gambar Mikael.
Tanpa basa-basi disobeknya
buku itu tanpa peduli apakah buku itu berharga bagi Mikael atau tidak. Ingin
sekali aku berdiri dan membela anak itu. Akan kubilang kalau dia sakit, atau
aku yang menyuruhnya, atau apa saja asal pemandangan ini segera menghilang. Akhirnya
doaku terkabul, tapi bukan karena campur tanganku. Bel tanda istirahat pertama
berbunyi tepat sebelum Pak Johan mengucap kutuknya.
# # #
Sementara anak-anak yang lain berhamburan ke arah kantin,
Mikael berjalan menuju gerbang belakang. Aku dengan bodohnya mengikuti dia dari
kejauhan hingga baru tersadar kalau di sana hanya ada sungai. Sial,
jangan-jangan dia hendak bunuh diri. Ah, tidak mungkin. Buktinya dia membawa
peralatan perangnya berupa perisai berbentuk buku gambar dan pedang tangan
berbentuk pensil.
“Hai! Boleh bergabung?” sapaku seraya duduk di sampingnya
menghadap ke arah sungai. Entah karena terlalu asyik dengan dunianya atau
memang budeg, dia sama sekali tak meresponku. Whatever, aku hanya ingin kenal dan dekat dengannya.
“Umm....Aku Arya. Kamu Mikail, kan? Maaf, nggak apa-apa kan kalau kupanggil
Mikail?” tanyaku sambil menyodorkan tangan ke depan mukanya.
Dia
hanya bergeser tempat duduk. Lalu dengan muka tetap menunduk dan tangan terus
bekerja, akhirnya ia bersuara.
“Di sekolah ini, hanya ada dua jenis orang yang terkenal,
yaitu orang aneh misterius yang dibenci dan dihina, dan orang jenius kharismatik
yang dipuja dan dicinta,” ujarnya kemudian, “jadi siapapun pasti tahu nama
mereka tanpa perlu berkenalan.”
“Yeah, but they just know our name, not our story,”
sahutku sedikit jengkel, “lagian kupikir kamu hanya peduli dengan duniamu,
ide-idemu, dan gambar-gambarmu. Jadi nama teman sekelaspun kukira kamu tak
tahu,” Ia hanya mengangkat bahu. Lima menit kemudian hanya suara aliran sungai
yang terdengar.
Aku berniat bermain melempar batu saat ia menoleh dan
memandangku dengan tatapan aneh. Kuterjemahkan sebagai, “mengapa kamu tetap di sini?”
“Well, Kamu
pernah nggak nonton film atau membaca cerita dimana ada tokoh yang aneh, freak, misterius, dianggap abnormal oleh
sekitar, atau istilah apa pun itu, yang pasti si tokoh ini tidak mengikuti
aturan umum? Namun ternyata dialah kunci utama. Entah karena di tiba-tiba
mendapatkan kekuatan super, atau emang dari sononya dia udah punya kekuatan
itu. Atau juga ternyata dia agen rahasia, atau paling parah dia kena kutukan
yang akhirnya berakhir buruk, seperti dia membunuh teman-temannya, atau dia
bahkan membunuh masa depannya sendiri. Semua karena satu hal, bukan? Yakni
keberadaannya tidak dianggap dan tidak ada yang dipercayainya?”
Aku berhenti sejenak untuk melihat ekspresinya seperti
apa. Ternyata dia masih menikmati tarian jemarinya.
“Atau yang lebih manusiawi, di masa mendatang ternyata
dia mencapai keberhasilan tertinggi di antara teman-temannya. Hingga akhirnya
orang-orang yang dulu menghina dirinya berbalik memujanya. Tapi karena dia
sudah tahu siapa mereka, dia menjadi orang yang skeptis dan tidak mempercayai
siapapun.
Jadi
alasanku di sini adalah pertama, aku tidak ingin menjadi termasuk dalam
golongan yang memuja setelah ada yang sukses, kedua aku tidak ingin seseorang
yang sebenarnya baik dan hebat tidak menemukan keberadaannya, dan ketiga I just wanna be your friend,” kataku
dengan cepat.
“Sayang sekali, aku tak berminat menjalin hubungan dengan
siapa pun. Entah itu sebagai teman, entah itu sebagai partner, entah itu
sebagai tempat untuk berbagi cerita. Sudah cukup dengan teorimu itu, silahkan
kamu kembali ke sekolah dan jadilah murid teladan yang baik, okay? Jangan melawan arus dengan menjadi
teman orang aneh sepertiku,” jawabnya dengan kepala tetap tertunduk di atasa
kertas gambar.
Sialan ini anak, didekati malah ngusir. Tapi terserah,
aku hanya ingin memeperbaiki ketimpangan yang terjadi di sini.
“Harus kukatakan sejujurnya, teladan yang dimaksud di
sini adalah teladan menurut sistem yang ada di sekolah ini. Di luar sekolah
tentu akan berbeda lagi. Selain itu, mengikuti sistem itu lama-lama membosankan
juga. Jadi perlu lah keluar dari sistem sejenak dan menikmati hidup sebagai
manusia, sebagai hamba Tuhan Yang Mahakuasa. Hehehe......religius, ya? But, that’s really me. Asal kamu tahu, banyak
hal yang kusembunyikan tentang diriku yang orang-orang tak tahu. Mereka hanya
tahu luarku saja. Mereka hanya mengetahui atas apa yang kutampilkan, bukan aku
yang sesungguhnya.”
Ia berhenti sejenak, lalu memandangku.
“Bukannya itu sama saja berbohong? Itu sama artinya
menipu, tak menunjukkan siapa dirimu. Kalau aku, maaf saja. Aku hanya ingin
menjadi diriku sendiri,” ujarnya sambil tersenyum sinis.
“Tapi itulah yang mereka inginkan, bukan? Mereka tidak
sepenuhnya ingin tahu mengenai diri kita. Mereka hanya ingin tahu sisi kita yang
bisa mereka manfaatkan. Jadi aku memberikan apa yang mereka inginkan. Mereka
boleh memiliki aku, boleh mengenalku, tapi tidak dengan diriku. Alright?” Ia kembali tak merespon.
“Kamu, atau siapa pun boleh menganggapku penipu atau si
muka dua. Kuakui memang begitu. Tapi kita, manusia sebagai makhluk sosial tentu
tak bisa hidup sendiri bukan? Kita harus hidup bersama orang lain, menghargai
mereka, menghormati mereka, berbuat baik pada mereka. Meskipun kita tak
mendapatkan hal yang sama dari mereka. But,
that’s life. You know? Dan karena kebanyakan orang hanya peduli dengan
ambisi mereka, jadi adil dong kalau
aku hanya memperkenalkan diri sebatas apa yang mereka butuhkan? Dan menyimpan
milikku yang paling penting untukku sendiri dan mungkin untuk orang spesial
seperti orang tua atau sahabat,” lanjutku. Ia mengangguk-angguk. Yes, berhasil!
“Sayangnya aku tak memiliki sesuatu spesial yang seperti
itu,” katanya kemudian. Aku menatapnya tak percaya, ia menoleh, “ya, sayangnya
aku tak lagi memiliki orang tua dan sampai saat ini aku masih belum kenal
dengan sesorang yang kupercayai sebagai sahabat.” Aku kaget. Sampai sekarang
tidak ada yang tahu kalau anak ini yatim piatu. Beberapa saat kemudian aku
tersenyum, lalu berdiri.
“Tentang sahabat, katamu tadi ‘belum’ bukan? Kalau begitu
aku akan menjadi yang pertama. Entah kamu mau bilang apa, yang pasti aku akan
ada di sampingmu, tak peduli kamu mau atau tidak. Well, see you at class!” ujarku seraya berlari kembali ke sekolah. Langkah
pertama berhasil. Akhirnya paling tidak aku bisa memperbaiki sesuatu di sini.
# # #
Hari
berikutnya, aku tiba di tempat yang kemarin lebih dulu darinya. Ia tiba tanpa
sapa dan kata-kata. Ia hanya datang, duduk dan menggambar. Sedangkan aku, aku
mengoceh sampai berbusa-busa. Hari berikutnya lagi sama saja. Ia menggambar dan
aku berkoar tentang ide-ideku, tentang umpatan-umpatanku mengenai sistem di
dunia ini, tentang segalanya dalam otakku. Sesekali ia menyahut hanya untuk
memperlihatkan bahwa ia peduli dan mendengar ceritaku. Tapi lama-lama akhirnya
dia cair juga. Kadang dia juga tertawa, kadang memberi masukan, kadang juga ia
ikut mengumpat. Hanya saja, dia sama sekali belum bercerita tentang dirinya.
“Mikail,
jujur ya? Kamu tuh rese lho sebenarnya,” kataku suatu ketika.
“Maksudmu?”
tanyanya seraya menghentikan aktivitas menggambarnya.
“Ya
rese, atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sialan. Mengapa? Karena di sini
hanya aku yang menceritakan kehidupanku. Aku menceritakan masa laluku, masa
depanku, semua tentang diriku. Lalu kamu? Tak menceritakan apa pun tentang
dirimu.”
Ia
menghela napas, “cerita belum tentu harus melalui kata-kata bukan?” katanya
kemudian, “maksudku, apa kamu tahu apa yang aku gambar?” tanyanya. Aku hanya
menggeleng, karena memang selama ini aku tak terlalu memperhatikan gambarannya.
“Aku
menggambar apa yang ada di pikiranku, kau tahu? Aku melukis apa yang aku lihat,
apa yang kudengar, apa yang kulakukan, apa yang kurasakan, dan apapun yang
kupikirkan. Jadi lukisan inilah ceritaku,” ujarnya lagi. Aku menggeleng-geleng
lagi, tapi kali ini artinya antara kagum dan tak percaya.
“Lalu,
aliran apa yang kamu anut? Maksudku, yang aku tahu dalam seni lukis ada banyak
aliran bukan? Seperti surealisme, realisme, atau isme-isme yang lain. Kamu
apa?”
“Entahlah.
Aku hanya melukis. Kadang ya......hanya sketsa, siluet, abstrak, garis-garis nggak jelas. Apa pun yang ada di otakku
ya kulukis itu,” jawabnya sambil tersenyum.
“You’re really a maestro, Man! Lalu kapan aku bisa melihat
ceritamu itu?” tanyaku sambil membuat kode tanda petik saat bilang cerita.
“Entahlah,
aku masih belum bisa menujukkannya pada siapapun. Belum selesai juga. Kamu
tahu, bukan? Di sini tidak ada tempat bagi pelukis maniak seperti aku. Bukan
hanya di sekolah ini, di dunia pun pelukis dipandang berharga hanya oleh
sebagian orang tertentu saja. Tak ada penghasilan bagi pelukis, apalagi pelukis
amatiran seperti aku. Selain itu, di sekolah ini yang dibutuhkan hanya murid
yang taat pada sistem, dan aku bukan salah satunya. Berulang kali aku berusaha
mengikuti sistem yang ada. Tapi berulang kali pula aku gagal,” jawabnya dengan
pandangan menerawang. Kami terdiam untuk beberapa saat.
“Hei!
Siapa juga yang peduli pada sistem di sekolah ini? Sistem di sini hanya
diciptakan oleh manusia, kan? Jadi, pasti ada kesalahan di beberapa sisi dan
kadang tidak tepat digunakan pada berbagai kondisi. Terutama kondisimu. Yang
kamu butuhkan bukan pengakuan berdasar nilai raport, tapi kreativitasmu, ingat?
Selain itu, jangan halangi imajinasi dan kreativitasmu dihambat oleh sistem
semu seperti di sekolah ini,” ujarku berapi-api, “aku pun sebenarnya juga sudah
muak dengan sistem yang ada. Aku hanya menunggu kesempatan untuk mengembangkan
sayapku. Dan sekarang kamu lah kesempatan itu. Ingat, aku akan selalu
bersamamu,” lanjutku tak kalah bersemangat seraya menepuk pundaknya.
Ia
tersenyum. Lega. Bisa kulihat bayangan gerhana sudah hilang dari air mukanya. Aku
pun tersenyum. Syukurlah, harapanku berhasil.
# # #
“Mik!
Ada masalah apa, sih? Dengan melihatmu rasanya seperti sedang terjadi gerhana
matahari, tahu nggak?” sapaku begitu aku sampai di sungai belakang
sekolah seperti biasanya. Mikael (Mikail) sudah duduk di tepi sungai dengan
kepala menunduk memandangi sebuah benda di tangannya. Pasti buku gambarnya.
“Hei!
Ada apa sih?” tanyaku lagi begitu aku sudah duduk di sampingnya seraya kutepuk
pundaknya.
Ia menggeleng.
Kulihat ia seperti berusaha keras menahan tangis. Pundaknya naik turun, meski
tak ada suara sesenggukan yang terdengar. Anak ini, kalau ada masalah pasti
disimpan sendiri. Seperti ini deh jadinya.
“Ini
pasti ada kaitannya dengan panggilan kepala sekolah tadi pagi, bukan?
Bagaimana? Kamu mau dikeluarkan karena nilai mu buruk-buruk? Bulls**t! Tidak akan ada nilai buruk
kalau tidak ada sistem yang buruk dan berat sebelah, kamu tahu. Tak usah lah
kamu pedulikan apa kata mereka. Sekali lagi, sistem mereka hanyalah ciptaan
manusia, tidak ada kewajiban untuk mengikutinya. Kalau sistem di sini tak lagi
bisa diikuti, lebih baik kita keluar saja dan kita buat sistem baru yang lebih
baik.”
“STOP!”
potong Mikail sedikit berteriak, “bisa nggak
sih kamu berhenti membual tentang sistem idealmu itu. Aku sudah lelah, aku
hanya ingin normal. Sudah kukatakan bukan? Berulang kali aku mengikuti sistem, berulang kali itu pula
aku gagal. Dan saat ini aku tak ingin kegagalan itu terulang kembali. Kalau
kamu memang tidak suka, mengapa kamu tidak keluar sendiri?”
Kekagetan
karena teriakan Mikail tadi belum reda sekarang aku lebih kaget lagi mendengar
perkataannya tadi. Sialan nih anak. Coba, siapa yang peduli dengannya ketika
yang lain justru menghinanya. Aku baru saja hendak menyemprotkan rasa marahku
ketika tiba-tiba ia menyerahkan suatu barang. Buku sketsanya.
“Maafkan
aku, Ar. Aku tidak bisa lagi bermain-main dan berbuat seenaknya. Ada hal yang
tak bisa kuceritakan padamu dan kuharap kamu menghargainya. Ini adalah ceritaku
yang dulu kujanjikan. Kuharap kamu puas dan bisa meninggalkanku sendiri saat
ini dan seterusnya,” lanjutnya seraya menyerahkan buku sketsanya.
Kuraih
buku itu dengan cepat lalu kulempar ke sungai.
“Persetan
dengan ceritamu. Kamu tahu apa yang kuinginkan? Aku hanya ingin persahabatan
kita, Mik. Apa hanya karena kau harus mengikuti sistem lalu persahabatan kita
harus pecah?” tanyaku marah.
“Kael,
disini kamu rupanya?” ujar seseorang. Aku dan Mikail menoleh bersamaan. Seorang
pria paruh baya berdiri di tengah pintu gerbang belakang itu.
Mikail
berjalan menghampiri pria itu dengan wajah sedikit ketakutan.
“Kamu
berbicara dengan siapa?” tanya pria itu. Sialan ini orang, apa keberadaanku di
sini tak dianggapnya? Mikail sendiri tiba-tiba langsung berhenti mendengar
pertanyaan pria tak dikenal itu. Tak lama kemudian kudengar ia menangis lagi.
Kali ini ia benar-benar menangis rupanya. Sedangkan aku di sini, hanya berdiri
tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Mengapa orang ini tak melihatku?
Padahal aku berdiri tepat di belakang Mikail? Atau memang dia tidak mengakuiku?
“Aku....aku....aku
tak bisa menahannya, Bi. Dia....dialah satu-satunya yang mengertiku.....,” ujar
Mikail sambil tersedu. Apa yang dimaksudkannya itu aku?
Pria itu
memeluk Mikail.
“Okay....okay......semuanya akan
baik-baik saja. Jika kamu mau membuka diri pada yang lain, semuanya juga akan
mengerti keadaanmu, Kael. Dan juga akan mencoba mencintaimu. Seperti Abi saat
ini. Dan kamu tak perlu memiliki teman khayalan”
Tak lama kemudian mereka pergi, meninggalkanku di sini
dengan penuh tanda tanya. Apa maksudnya semua ini. Mengapa keberadaanku tidak
diketahui di sini?
“Siapapun atau kejadian apapun yang tidak dilihat orang
lain, dan hanya kamu saja yang melihatnya itu berarti tidak nyata, okay? Itu hanya efek penyakitmu ini.
Tapi jangan khawatir, mulai saat ini Abi akan membantumu membedakan kenyataan
dan imajinasimu. Kamu setuju?” Mikail mengangguk.
Jadi? Apakah aku ini tidak nyata? Dan orang aneh itu
justru yang nyata?
"Mikail, tak peduli apa pun yang terjadi, entah kamu kengakuiku nyata atau tidak, aku akan selalu menemuimu! Sampai kamu mau mengakuiku dan berbicara denganku!" teriakku. Kulihat, Mikail semakuin tergugu.
"Mikail, tak peduli apa pun yang terjadi, entah kamu kengakuiku nyata atau tidak, aku akan selalu menemuimu! Sampai kamu mau mengakuiku dan berbicara denganku!" teriakku. Kulihat, Mikail semakuin tergugu.
# # #
“Tolong, Pak. Dia harus berada di lingkungan sosial untuk
membantu penyembuhannya,” pinta wanita berkerudung itu. Aku menghela nafas.
Kupandangi remaja tanggung yang duduk di sampingnya. Selalu saja menunduk. Anak
yang baik dan unik sesungguhnya, hanya saja keadaan psikisnya tidak
memungkinkan untuk sekolah di sini.
“Tapi, Pak, Bu, sekolah ini tidak bisa menerima anak
berkebutuhan khusus seperti dia. Seharusnya dia sekolah di tempat yang khusus
untuk anak-anak seperti dia. Kalau tidak, ya silahkan home schooling,” tolakku berusaha sebijak mungkin.
“Bapak tahu sendiri bukan? Sekolah seperti itu tidak ada
di kota ini. Dan kami hanya pengasuh panti asuhan yang menggantungkan biaya
dari donatur. Mana mungkin kami bisa membiayai sistem sekolah seperti itu?”
kali ini pria paruh baya yang duduk di samping anak itu yang bicara. Mereka
suami istri pasti.
“Mana mungkin sistem di sekolah ini bisa menangani
kondisi anak ini? Sistem kami sangat ketat. Kalaupun dia sekolah di sini saya
tidak yakin dia akan lulus.”
“Tolong sekali, Pak. Tidak apa-apa jika dia tidak lulus,
yang penting ia mendapat ilmu seperti halnya orang lain. Sebenarnya yang paling
penting bagi kami adalah dia bisa berinteraksi dengan yang lain, paling tidak
hal itu bisa membantunya untuk membedakan kenyataan dan ilusinya. Sementara itu
kami juga akan mengurus terapi untuk schizophrenia
yang dideritanya itu,” sahut pria itu.
Ya Allah! Jadi schizophrenia?
Kupikir dia autis. Kupandangi lagi anak itu. Dan kulihat sosok ayahku di sana.
Seandainya dulu ada orang-orang seperti bapak dan ibu ini di samping ayahku,
pasti saat ini beliau masih hidup. Aku tersenyum.
“Mengapa Bapak dan Ibu tidak mengatakannya sejak awal
kalau dia mengidap schizophrenia?”
“Kami pikir Bapak sudah tahu. Di formulir pendaftaran
dahulu kami menuliskannya,” jawab pria yang kulupa namanya tadi.
“Maaf....maaf....sepertinya saya yang salah. Kalau boleh
saya bercerita sedikit, ayah saya dulu juga menderita schizophrenia, sayangnya tidak ada yang mengerti keadaannya, tidak
seperti Bapak dan Ibu saat ini. Dia dianggap gila dan diasingkan oleh keluarga
kami. Dan akhirnya beliau justru bunuh diri. Karena itu, mungkin dengan
membantu anak ini melewati masa-masa sulitnya ini saya bisa sedikit menghapus
rasa bersalah saya,” ujarku sambil berusaha tersenyum.
Kulihat mereka berdua akhirnya tersenyum.
“Sekarang Bapak dan Ibu bisa membawa dia pulang. Saya
akan menyampaikan hal ini pada guru-guru. Semoga mereka mau mengerti. Toh,
kalaupun mereka enggan menerimanya saya sebagai kepala sekolah bisa
mengaturnya. Sekali-kali memanfaatkan posisi untuk kebaikan tidak apa-apa,
kan?” ujarku sedikit mencairkan suasana.
Merekapun berdiri. Kuantar mereka sampai di pintu.
“Terima kasih, Pak,” kata pria itu seraya menjabat
tanganku.
“Saya yang seharusnya berterima kasih. Saya akhirnya bisa
melakukan hal yang seharusnya saya lakukan pada ayah saya dulu,” sahutku.
“Yang kuat ya, Nak. Jangan khawatir, Bapak akan ikut
menjagamu,” ujarku sambil menjabat tangan dan merangkul pundak anak ini. Ia
berusaha tersenyum.
Akhirnya mereka pun pergi. Kupandangi mereka, tapi
pikiranku justru menerawang saat ayahku diasingkan di gudang belakang. Ia
berteriak-teriak, menganggap kami semua kaki tangan penjajah yang ikut
membunuhnya. Ayahku sellau menganggap dirinya sebagai komandan perang.
Seharusnya saat itu aku tidak membencinya, seharusnya saat itu aku tidak malu
memiliki ayah seperti dia, seharusnya saat itu aku mencintainya.
Sungguh, dunia yang ada di kepala manusia benar-benar
rumit dan berbelit. Kemarin pamanku divonis alzheimer,
sekarang aku bertemu dengan penderita schizophrenia.
Sepertinya mulai saat ini aku harus banyak-banyak bersyukur. Kepribadian ganda
yang kuderita ini sepertinya masih lebih baik dibandingkan kondisi mereka. Mengendalikan
sembilan orang yang keras kepala dalam satu tubuh dan menjaganya tetap terfusi
memang sulit, tapi sepertinya lebih sulit dan menakutkan apabila memiliki
memori yang indah namun ternyata itu hanya ilusi, bukan kenyataan. Yah,
persamaannya kami sama-sama menjaga realita dalam kehidupan kami yang surealis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar