Jumat, 14 Februari 2014

Realisme Seorang Surealis

“Hegh......masih jam sepuluh,” gumamku tak jelas.

        Entah sudah berapa kali aku melihat jam di tanganku hanya untuk kecewa. Padahal terakhir kali aku melihat, jarum panjang masih bertengger di samping angka sebelas. Mengapa 5 menit rasanya lama sekali? Berita bagusnya,  kelas ini masih akan berlangsung 40 menit ke depan.

“Kondisi inilah yang memicu burung Finch untuk mengembangkan jenis paruh yang berbeda-beda,” kata-kata guru botak di depan kelas itu masih menguasai kelas.

      Huft.......burung Finch lagi, ujung-ujungnya pasti teori-tak-berdasar, Seleksi Alam. Membosankan. Kalau sudah begini, paling nyaman jika bersandar di kursi, tangan bersedekap, dan mata memantau ke penjuru kelas. Yah......posisi duduk di pojok kiri belakang memang menyenangkan.
         Untuk beberapa saat, mata, telinga, dan otakku masih nyambung. Tak lama kemudian mataku memang masih scanning, tapi telingaku offline, dan otakku browsing entah kemana. Sampai akhirnya sebutir kapur melayang ke meja di barisan belakang. Tapi bukan ke tempatku.

“Kael! Sedang apa kau?” tanya (atau lebih tepatnya bentak) guru botak itu.

       Sekali lagi kutegaskan, bukan kepadaku, namun pada anak laki-laki di seberangku, yang duduk di pojok kanan belakang.

“Kamu tidak mendengarkan bapak?” tanya guru itu mulai tak sabar.

         Si anak justru semakin diam, tak bergerak. Dia Kael, lengkapnya Mikael Hidaya. Nama aneh, seaneh orangnya. Setiap waktu hanya menggambar yang dilakukannya. Tak pernah kudengar ia bicara, selalu menunduk, dan misterius, seakan-akan gerhana selalu mengikutinya.
       Pak Johan, guru botak itu, kehilangan kesabaran. Ia berjalan ke arah Mikael, yang sekarang duduk tegak (dan kepala menunduk) salah tingkah dan ketakutan, tak tahu apa yang harus dikatakannya. Jangan harap teman-teman sekelas yang lain iba, mereka justru berusaha sekuat tenaga menahan tawa.

“Gambar apa ini, hah? Dijelaskan malah menggambar seenaknya sendiri,” ujar Pak Johan sambil meraih buku gambar Mikael.

       Tanpa basa-basi disobeknya buku itu tanpa peduli apakah buku itu berharga bagi Mikael atau tidak. Ingin sekali aku berdiri dan membela anak itu. Akan kubilang kalau dia sakit, atau aku yang menyuruhnya, atau apa saja asal pemandangan ini segera menghilang. Akhirnya doaku terkabul, tapi bukan karena campur tanganku. Bel tanda istirahat pertama berbunyi tepat sebelum Pak Johan mengucap kutuknya.

#                      #                      #

       Sementara anak-anak yang lain berhamburan ke arah kantin, Mikael berjalan menuju gerbang belakang. Aku dengan bodohnya mengikuti dia dari kejauhan hingga baru tersadar kalau di sana hanya ada sungai. Sial, jangan-jangan dia hendak bunuh diri. Ah, tidak mungkin. Buktinya dia membawa peralatan perangnya berupa perisai berbentuk buku gambar dan pedang tangan berbentuk pensil.

        “Hai! Boleh bergabung?” sapaku seraya duduk di sampingnya menghadap ke arah sungai. Entah karena terlalu asyik dengan dunianya atau memang budeg, dia sama sekali tak meresponku. Whatever, aku hanya ingin kenal dan dekat dengannya.

           “Umm....Aku Arya. Kamu Mikail, kan? Maaf, nggak apa-apa kan kalau kupanggil Mikail?” tanyaku sambil menyodorkan tangan ke depan mukanya.

Dia hanya bergeser tempat duduk. Lalu dengan muka tetap menunduk dan tangan terus bekerja, akhirnya ia bersuara.

            “Di sekolah ini, hanya ada dua jenis orang yang terkenal, yaitu orang aneh misterius yang dibenci dan dihina, dan orang jenius kharismatik yang dipuja dan dicinta,” ujarnya kemudian, “jadi siapapun pasti tahu nama mereka tanpa perlu berkenalan.”

            “Yeah, but they just know our name, not our story,” sahutku sedikit jengkel, “lagian kupikir kamu hanya peduli dengan duniamu, ide-idemu, dan gambar-gambarmu. Jadi nama teman sekelaspun kukira kamu tak tahu,” Ia hanya mengangkat bahu. Lima menit kemudian hanya suara aliran sungai yang terdengar.

       Aku berniat bermain melempar batu saat ia menoleh dan memandangku dengan tatapan aneh. Kuterjemahkan sebagai, “mengapa kamu tetap di sini?

            “Well, Kamu pernah nggak nonton film atau membaca cerita dimana ada tokoh yang aneh, freak, misterius, dianggap abnormal oleh sekitar, atau istilah apa pun itu, yang pasti si tokoh ini tidak mengikuti aturan umum? Namun ternyata dialah kunci utama. Entah karena di tiba-tiba mendapatkan kekuatan super, atau emang dari sononya dia udah punya kekuatan itu. Atau juga ternyata dia agen rahasia, atau paling parah dia kena kutukan yang akhirnya berakhir buruk, seperti dia membunuh teman-temannya, atau dia bahkan membunuh masa depannya sendiri. Semua karena satu hal, bukan? Yakni keberadaannya tidak dianggap dan tidak ada yang dipercayainya?”

    Aku berhenti sejenak untuk melihat ekspresinya seperti apa. Ternyata dia masih menikmati tarian jemarinya.

            “Atau yang lebih manusiawi, di masa mendatang ternyata dia mencapai keberhasilan tertinggi di antara teman-temannya. Hingga akhirnya orang-orang yang dulu menghina dirinya berbalik memujanya. Tapi karena dia sudah tahu siapa mereka, dia menjadi orang yang skeptis dan tidak mempercayai siapapun.
Jadi alasanku di sini adalah pertama, aku tidak ingin menjadi termasuk dalam golongan yang memuja setelah ada yang sukses, kedua aku tidak ingin seseorang yang sebenarnya baik dan hebat tidak menemukan keberadaannya, dan ketiga I just wanna be your friend,” kataku dengan cepat.

            “Sayang sekali, aku tak berminat menjalin hubungan dengan siapa pun. Entah itu sebagai teman, entah itu sebagai partner, entah itu sebagai tempat untuk berbagi cerita. Sudah cukup dengan teorimu itu, silahkan kamu kembali ke sekolah dan jadilah murid teladan yang baik, okay? Jangan melawan arus dengan menjadi teman orang aneh sepertiku,” jawabnya dengan kepala tetap tertunduk di atasa kertas gambar.

         Sialan ini anak, didekati malah ngusir. Tapi terserah, aku hanya ingin memeperbaiki ketimpangan yang terjadi di sini.

            “Harus kukatakan sejujurnya, teladan yang dimaksud di sini adalah teladan menurut sistem yang ada di sekolah ini. Di luar sekolah tentu akan berbeda lagi. Selain itu, mengikuti sistem itu lama-lama membosankan juga. Jadi perlu lah keluar dari sistem sejenak dan menikmati hidup sebagai manusia, sebagai hamba Tuhan Yang Mahakuasa. Hehehe......religius, ya? But, that’s really me. Asal kamu tahu, banyak hal yang kusembunyikan tentang diriku yang orang-orang tak tahu. Mereka hanya tahu luarku saja. Mereka hanya mengetahui atas apa yang kutampilkan, bukan aku yang sesungguhnya.”

            Ia berhenti sejenak, lalu memandangku.

            “Bukannya itu sama saja berbohong? Itu sama artinya menipu, tak menunjukkan siapa dirimu. Kalau aku, maaf saja. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri,” ujarnya sambil tersenyum sinis.

          “Tapi itulah yang mereka inginkan, bukan? Mereka tidak sepenuhnya ingin tahu mengenai diri kita. Mereka hanya ingin tahu sisi kita yang bisa mereka manfaatkan. Jadi aku memberikan apa yang mereka inginkan. Mereka boleh memiliki aku, boleh mengenalku, tapi tidak dengan diriku. Alright?” Ia kembali tak merespon.

            “Kamu, atau siapa pun boleh menganggapku penipu atau si muka dua. Kuakui memang begitu. Tapi kita, manusia sebagai makhluk sosial tentu tak bisa hidup sendiri bukan? Kita harus hidup bersama orang lain, menghargai mereka, menghormati mereka, berbuat baik pada mereka. Meskipun kita tak mendapatkan hal yang sama dari mereka. But, that’s life. You know? Dan karena kebanyakan orang hanya peduli dengan ambisi mereka, jadi adil dong kalau aku hanya memperkenalkan diri sebatas apa yang mereka butuhkan? Dan menyimpan milikku yang paling penting untukku sendiri dan mungkin untuk orang spesial seperti orang tua atau sahabat,” lanjutku. Ia mengangguk-angguk. Yes, berhasil!

            “Sayangnya aku tak memiliki sesuatu spesial yang seperti itu,” katanya kemudian. Aku menatapnya tak percaya, ia menoleh, “ya, sayangnya aku tak lagi memiliki orang tua dan sampai saat ini aku masih belum kenal dengan sesorang yang kupercayai sebagai sahabat.” Aku kaget. Sampai sekarang tidak ada yang tahu kalau anak ini yatim piatu. Beberapa saat kemudian aku tersenyum, lalu berdiri.

            “Tentang sahabat, katamu tadi ‘belum’ bukan? Kalau begitu aku akan menjadi yang pertama. Entah kamu mau bilang apa, yang pasti aku akan ada di sampingmu, tak peduli kamu mau atau tidak. Well, see you at class!” ujarku seraya berlari kembali ke sekolah. Langkah pertama berhasil. Akhirnya paling tidak aku bisa memperbaiki sesuatu di sini.

#                                  #                                  #

Hari berikutnya, aku tiba di tempat yang kemarin lebih dulu darinya. Ia tiba tanpa sapa dan kata-kata. Ia hanya datang, duduk dan menggambar. Sedangkan aku, aku mengoceh sampai berbusa-busa. Hari berikutnya lagi sama saja. Ia menggambar dan aku berkoar tentang ide-ideku, tentang umpatan-umpatanku mengenai sistem di dunia ini, tentang segalanya dalam otakku. Sesekali ia menyahut hanya untuk memperlihatkan bahwa ia peduli dan mendengar ceritaku. Tapi lama-lama akhirnya dia cair juga. Kadang dia juga tertawa, kadang memberi masukan, kadang juga ia ikut mengumpat. Hanya saja, dia sama sekali belum bercerita tentang dirinya.

“Mikail, jujur ya? Kamu tuh rese lho sebenarnya,” kataku suatu ketika.

“Maksudmu?” tanyanya seraya menghentikan aktivitas menggambarnya.

“Ya rese, atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sialan. Mengapa? Karena di sini hanya aku yang menceritakan kehidupanku. Aku menceritakan masa laluku, masa depanku, semua tentang diriku. Lalu kamu? Tak menceritakan apa pun tentang dirimu.”

Ia menghela napas, “cerita belum tentu harus melalui kata-kata bukan?” katanya kemudian, “maksudku, apa kamu tahu apa yang aku gambar?” tanyanya. Aku hanya menggeleng, karena memang selama ini aku tak terlalu memperhatikan gambarannya.

“Aku menggambar apa yang ada di pikiranku, kau tahu? Aku melukis apa yang aku lihat, apa yang kudengar, apa yang kulakukan, apa yang kurasakan, dan apapun yang kupikirkan. Jadi lukisan inilah ceritaku,” ujarnya lagi. Aku menggeleng-geleng lagi, tapi kali ini artinya antara kagum dan tak percaya.

“Lalu, aliran apa yang kamu anut? Maksudku, yang aku tahu dalam seni lukis ada banyak aliran bukan? Seperti surealisme, realisme, atau isme-isme yang lain. Kamu apa?”

“Entahlah. Aku hanya melukis. Kadang ya......hanya sketsa, siluet, abstrak, garis-garis nggak jelas. Apa pun yang ada di otakku ya kulukis itu,” jawabnya sambil tersenyum.

You’re really a maestro, Man! Lalu kapan aku bisa melihat ceritamu itu?” tanyaku sambil membuat kode tanda petik saat bilang cerita.

“Entahlah, aku masih belum bisa menujukkannya pada siapapun. Belum selesai juga. Kamu tahu, bukan? Di sini tidak ada tempat bagi pelukis maniak seperti aku. Bukan hanya di sekolah ini, di dunia pun pelukis dipandang berharga hanya oleh sebagian orang tertentu saja. Tak ada penghasilan bagi pelukis, apalagi pelukis amatiran seperti aku. Selain itu, di sekolah ini yang dibutuhkan hanya murid yang taat pada sistem, dan aku bukan salah satunya. Berulang kali aku berusaha mengikuti sistem yang ada. Tapi berulang kali pula aku gagal,” jawabnya dengan pandangan menerawang. Kami terdiam untuk beberapa saat.

“Hei! Siapa juga yang peduli pada sistem di sekolah ini? Sistem di sini hanya diciptakan oleh manusia, kan? Jadi, pasti ada kesalahan di beberapa sisi dan kadang tidak tepat digunakan pada berbagai kondisi. Terutama kondisimu. Yang kamu butuhkan bukan pengakuan berdasar nilai raport, tapi kreativitasmu, ingat? Selain itu, jangan halangi imajinasi dan kreativitasmu dihambat oleh sistem semu seperti di sekolah ini,” ujarku berapi-api, “aku pun sebenarnya juga sudah muak dengan sistem yang ada. Aku hanya menunggu kesempatan untuk mengembangkan sayapku. Dan sekarang kamu lah kesempatan itu. Ingat, aku akan selalu bersamamu,” lanjutku tak kalah bersemangat seraya menepuk pundaknya.

Ia tersenyum. Lega. Bisa kulihat bayangan gerhana sudah hilang dari air mukanya. Aku pun tersenyum. Syukurlah, harapanku berhasil.

#                                  #                                  #
“Mik! Ada masalah apa, sih? Dengan melihatmu rasanya seperti sedang terjadi gerhana matahari, tahu nggak?”  sapaku begitu aku sampai di sungai belakang sekolah seperti biasanya. Mikael (Mikail) sudah duduk di tepi sungai dengan kepala menunduk memandangi sebuah benda di tangannya. Pasti buku gambarnya.

“Hei! Ada apa sih?” tanyaku lagi begitu aku sudah duduk di sampingnya seraya kutepuk pundaknya.
Ia menggeleng. Kulihat ia seperti berusaha keras menahan tangis. Pundaknya naik turun, meski tak ada suara sesenggukan yang terdengar. Anak ini, kalau ada masalah pasti disimpan sendiri. Seperti ini deh jadinya.

“Ini pasti ada kaitannya dengan panggilan kepala sekolah tadi pagi, bukan? Bagaimana? Kamu mau dikeluarkan karena nilai mu buruk-buruk? Bulls**t! Tidak akan ada nilai buruk kalau tidak ada sistem yang buruk dan berat sebelah, kamu tahu. Tak usah lah kamu pedulikan apa kata mereka. Sekali lagi, sistem mereka hanyalah ciptaan manusia, tidak ada kewajiban untuk mengikutinya. Kalau sistem di sini tak lagi bisa diikuti, lebih baik kita keluar saja dan kita buat sistem baru yang lebih baik.”

“STOP!” potong Mikail sedikit berteriak, “bisa nggak sih kamu berhenti membual tentang sistem idealmu itu. Aku sudah lelah, aku hanya ingin normal. Sudah kukatakan bukan? Berulang kali aku mengikuti sistem, berulang kali itu pula aku gagal. Dan saat ini aku tak ingin kegagalan itu terulang kembali. Kalau kamu memang tidak suka, mengapa kamu tidak keluar sendiri?”

Kekagetan karena teriakan Mikail tadi belum reda sekarang aku lebih kaget lagi mendengar perkataannya tadi. Sialan nih anak. Coba, siapa yang peduli dengannya ketika yang lain justru menghinanya. Aku baru saja hendak menyemprotkan rasa marahku ketika tiba-tiba ia menyerahkan suatu barang. Buku sketsanya.
“Maafkan aku, Ar. Aku tidak bisa lagi bermain-main dan berbuat seenaknya. Ada hal yang tak bisa kuceritakan padamu dan kuharap kamu menghargainya. Ini adalah ceritaku yang dulu kujanjikan. Kuharap kamu puas dan bisa meninggalkanku sendiri saat ini dan seterusnya,” lanjutnya seraya menyerahkan buku sketsanya.

Kuraih buku itu dengan cepat lalu kulempar ke sungai.

“Persetan dengan ceritamu. Kamu tahu apa yang kuinginkan? Aku hanya ingin persahabatan kita, Mik. Apa hanya karena kau harus mengikuti sistem lalu persahabatan kita harus pecah?” tanyaku marah.

“Kael, disini kamu rupanya?” ujar seseorang. Aku dan Mikail menoleh bersamaan. Seorang pria paruh baya berdiri di tengah pintu gerbang belakang itu.

Mikail berjalan menghampiri pria itu dengan wajah sedikit ketakutan.

“Kamu berbicara dengan siapa?” tanya pria itu. Sialan ini orang, apa keberadaanku di sini tak dianggapnya? Mikail sendiri tiba-tiba langsung berhenti mendengar pertanyaan pria tak dikenal itu. Tak lama kemudian kudengar ia menangis lagi. Kali ini ia benar-benar menangis rupanya. Sedangkan aku di sini, hanya berdiri tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Mengapa orang ini tak melihatku? Padahal aku berdiri tepat di belakang Mikail? Atau memang dia tidak mengakuiku?

“Aku....aku....aku tak bisa menahannya, Bi. Dia....dialah satu-satunya yang mengertiku.....,” ujar Mikail sambil tersedu. Apa yang dimaksudkannya itu aku?

Pria itu memeluk Mikail.

Okay....okay......semuanya akan baik-baik saja. Jika kamu mau membuka diri pada yang lain, semuanya juga akan mengerti keadaanmu, Kael. Dan juga akan mencoba mencintaimu. Seperti Abi saat ini. Dan kamu tak perlu memiliki teman khayalan”

           Tak lama kemudian mereka pergi, meninggalkanku di sini dengan penuh tanda tanya. Apa maksudnya semua ini. Mengapa keberadaanku tidak diketahui di sini?

            “Siapapun atau kejadian apapun yang tidak dilihat orang lain, dan hanya kamu saja yang melihatnya itu berarti tidak nyata, okay? Itu hanya efek penyakitmu ini. Tapi jangan khawatir, mulai saat ini Abi akan membantumu membedakan kenyataan dan imajinasimu. Kamu setuju?” Mikail mengangguk.

            Jadi? Apakah aku ini tidak nyata? Dan orang aneh itu justru yang nyata?

            "Mikail, tak peduli apa pun yang terjadi, entah kamu kengakuiku nyata atau tidak, aku akan selalu menemuimu! Sampai kamu mau mengakuiku dan berbicara denganku!" teriakku. Kulihat, Mikail semakuin tergugu.
#                                  #                                  #

           “Tolong, Pak. Dia harus berada di lingkungan sosial untuk membantu penyembuhannya,” pinta wanita berkerudung itu. Aku menghela nafas. Kupandangi remaja tanggung yang duduk di sampingnya. Selalu saja menunduk. Anak yang baik dan unik sesungguhnya, hanya saja keadaan psikisnya tidak memungkinkan untuk sekolah di sini.

           “Tapi, Pak, Bu, sekolah ini tidak bisa menerima anak berkebutuhan khusus seperti dia. Seharusnya dia sekolah di tempat yang khusus untuk anak-anak seperti dia. Kalau tidak, ya silahkan home schooling,” tolakku berusaha sebijak mungkin.

            “Bapak tahu sendiri bukan? Sekolah seperti itu tidak ada di kota ini. Dan kami hanya pengasuh panti asuhan yang menggantungkan biaya dari donatur. Mana mungkin kami bisa membiayai sistem sekolah seperti itu?” kali ini pria paruh baya yang duduk di samping anak itu yang bicara. Mereka suami istri pasti.

         “Mana mungkin sistem di sekolah ini bisa menangani kondisi anak ini? Sistem kami sangat ketat. Kalaupun dia sekolah di sini saya tidak yakin dia akan lulus.”

            “Tolong sekali, Pak. Tidak apa-apa jika dia tidak lulus, yang penting ia mendapat ilmu seperti halnya orang lain. Sebenarnya yang paling penting bagi kami adalah dia bisa berinteraksi dengan yang lain, paling tidak hal itu bisa membantunya untuk membedakan kenyataan dan ilusinya. Sementara itu kami juga akan mengurus terapi untuk schizophrenia yang dideritanya itu,” sahut pria itu.

           Ya Allah! Jadi schizophrenia? Kupikir dia autis. Kupandangi lagi anak itu. Dan kulihat sosok ayahku di sana. Seandainya dulu ada orang-orang seperti bapak dan ibu ini di samping ayahku, pasti saat ini beliau masih hidup. Aku tersenyum.

            “Mengapa Bapak dan Ibu tidak mengatakannya sejak awal kalau dia mengidap schizophrenia?”

           “Kami pikir Bapak sudah tahu. Di formulir pendaftaran dahulu kami menuliskannya,” jawab pria yang kulupa namanya tadi.

            “Maaf....maaf....sepertinya saya yang salah. Kalau boleh saya bercerita sedikit, ayah saya dulu juga menderita schizophrenia, sayangnya tidak ada yang mengerti keadaannya, tidak seperti Bapak dan Ibu saat ini. Dia dianggap gila dan diasingkan oleh keluarga kami. Dan akhirnya beliau justru bunuh diri. Karena itu, mungkin dengan membantu anak ini melewati masa-masa sulitnya ini saya bisa sedikit menghapus rasa bersalah saya,” ujarku sambil berusaha tersenyum.

            Kulihat mereka berdua akhirnya tersenyum.

            “Sekarang Bapak dan Ibu bisa membawa dia pulang. Saya akan menyampaikan hal ini pada guru-guru. Semoga mereka mau mengerti. Toh, kalaupun mereka enggan menerimanya saya sebagai kepala sekolah bisa mengaturnya. Sekali-kali memanfaatkan posisi untuk kebaikan tidak apa-apa, kan?” ujarku sedikit mencairkan suasana.

            Merekapun berdiri. Kuantar mereka sampai di pintu.

           “Terima kasih, Pak,” kata pria itu seraya menjabat tanganku.

       “Saya yang seharusnya berterima kasih. Saya akhirnya bisa melakukan hal yang seharusnya saya lakukan pada ayah saya dulu,” sahutku.

       “Yang kuat ya, Nak. Jangan khawatir, Bapak akan ikut menjagamu,” ujarku sambil menjabat tangan dan merangkul pundak anak ini. Ia berusaha tersenyum.

      Akhirnya mereka pun pergi. Kupandangi mereka, tapi pikiranku justru menerawang saat ayahku diasingkan di gudang belakang. Ia berteriak-teriak, menganggap kami semua kaki tangan penjajah yang ikut membunuhnya. Ayahku sellau menganggap dirinya sebagai komandan perang. Seharusnya saat itu aku tidak membencinya, seharusnya saat itu aku tidak malu memiliki ayah seperti dia, seharusnya saat itu aku mencintainya.

        Sungguh, dunia yang ada di kepala manusia benar-benar rumit dan berbelit. Kemarin pamanku divonis alzheimer, sekarang aku bertemu dengan penderita schizophrenia. Sepertinya mulai saat ini aku harus banyak-banyak bersyukur. Kepribadian ganda yang kuderita ini sepertinya masih lebih baik dibandingkan kondisi mereka. Mengendalikan sembilan orang yang keras kepala dalam satu tubuh dan menjaganya tetap terfusi memang sulit, tapi sepertinya lebih sulit dan menakutkan apabila memiliki memori yang indah namun ternyata itu hanya ilusi, bukan kenyataan. Yah, persamaannya kami sama-sama menjaga realita dalam kehidupan kami yang surealis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar