Senin, 13 Oktober 2014

Makalah Tingkah Laku Ikan Big Eye Tuna (Thunnus obesus)

BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Ditambah lagi, wilayah laut Indonesia yang lebih luas dibanding daratannya, yakni sekitar 73,1 % dari total wilayah Indonesia, membuat kekayaan laut di Indonesia sangat banyak. Kekayaan laut tersebut mulai dari sumber daya yang bisa diperbaharui seperti perikanan, terumbu karang, mangrove, rumput laut, hingga sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak bumi, gas bumi, barang tambang, mineral, serta energi kelautan seperti gelombang dan angin. Di antara aspek perikanan yang memberi kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia tersebut adalah perikanan tuna, salah satunya Tuna Mata Besar (Thunnus obesus).
Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan Bigeye Tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna yang paling utama di Indonesia selain Tuna Sirip Kuning atau Madidihang (Thunnus albacares) dan Tuna Sirip Biru Selatan (Thunnus maccoyii). Ekspor Tuna Mata Besar pada umumnya dalam bentuk segar dan beku.
Pemanfaatan sumber daya tuna, terutama Tuna Mata Besar sendiri di perairan Samudera Hindia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005) mencatat bahwa ada sekitar 6.547 unit kapal tuna longline di Indonesia pada tahun 2003. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan pada tahun 2002 yang hanya berjumlah 2.264 unit. Diduga jumlah kapal tuna longline yang beroperasi di seluruh perairan Indonesia sekitar 1.400 unit, dimana kira-kira 1,200 beroperasi di Samudera Hindia (Pusat Perikanan Tangkap, 2002 dalam Nugraha, 2009).

B.     RUMUSAN MASALAH
Fokus permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1.      Bagaimana anatomi dan morfologi ikan tuna mata besar (bigeye tuna)?
2.      Bagaimana tingkah laku dan kebiasaan hidup ikan tuna mata besar (bigeye tuna)?
3.      Bagaimana penangkapan ikan tuna mata besar (bigeye tuna) dilakukan dan alat tangkap apa saja yang digunakan?

C.     TUJUAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah:
1.      Untuk mengetahui anatomi dan morfologi ikan tuna mata besar (bigeye tuna).
2.      Untuk mengetahui tingkah laku dan kebiasaan hidup ikan tuna mata besar (bigeye tuna).
3.      Untuk mengetahui cara-cara penangkapan ikan tuna mata besar (bigeye tuna) beserta alat tangkap yang digunakan.




BAB II
PEMBAHASAN

A.     IKAN  TUNA MATA BESAR (BIGEYE TUNA)
Dalam taksonomi, bigeye tuna memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Phylum              : Chordata
     Subphylum   : Vertebrata
Superclass              : Gnathostomata
Class                  : Osteichthyes
Subclass        : Actinopterygii
Order                 : Percomorphii
     Suborder       : Scombroidei
Family               : Scombridae
     Subfamily     : Scombrinae
Genus                : Thunnus
Species              : Thunnus obesus

Bigeye Tuna (Thunnus obesus) termasuk dalam jenis tuna besar. Bentuk tubuhnya memanjang langsing seperti torpedo. Sirip dada cukup panjang pada individu yang besar dan menjadi sangat panjang pada individu yang kecil. Tapisan insang 20-30 pada busur insang pertama. Dua sirip punggung, sirip punggung kedua diikuti 8-10 jari-jari sirip tambahan. Dua buah lidah (cuping) di antara kedua sirip perutnya. Jari-jari sirip tambahan berjumlah 7-10 di belakang sirip dubur. Sisik-sisiknya halus dan kecil. Pada korselet tumbuh sisik-sisik agak besar dan tebal tetapi tidak begitu nyata. Pangkal ekornya langsing, lunas kuat diapit dua lunas kecil pada ujung belakangnya.
Tuna mata besar memiliki warna bagian atas tubuh hitam keabu-abuan, sedangkan bagian bawah perut berwarna putih. Garis sisinya seperti sabuk berwarna biru membujur sepanjang badan. Sirip punggung pertama berwarna kuning terang, sirip punggung kedua dan sirip dubur berwarna kuning muda. Ikan Tuna Mata Besar memiliki jari-jari sirip tambahan (finlet) berwarna kuning terang, dan hitam pada ujungnya.
Spesies ini mencapai panjang total maksimum 250 cm dengan panjang cagak rata-rata per individunya lebih dari 180 cm. Berat maksimumnya 210 kg (pada usia yang pernah dilaporkan 11 tahun). Pada tahun 1957 pernah dilaporkan di Cabo Blanco, Peru sepanjang 263 cm dengan berat 197,3 kg. Sedangkan pada tahun 1977 di Samudera Atlantik, tepatnya Maryland, USA seberat 170,3 kg dengan panjang cagak 206 cm. Ukuran panjang cagak normal tertangkap antara 40 cm dan 170 cm. Kematangan tampaknya dicapai pada 100 sampai 130 cm di Pasifik Timur dan di Samuder Hindia, dan di sekitar 130 cm di Pasifik Tengah.
Ciri-ciri luar tuna mata besar yang lain adalah:
a.    Sirip ekor mempunyai lekukan yang dangkal pada pusat celah sirip ekor;
b.    Pada ikan dewasa, matanya relatif besar dibandingkan dengan tuna-tuna yang lain;
c.    Profil badan seluruh bagian dorsal dan ventral melengkung secara merata;
d.   Sirip dada pada ikan dewasa adalah ¼ - 1/3 kali fork length;
e.    Sirip dada pada anak ikan tuna lebih panjang dan selalu melewati belakang sebuah garis yang digambar di antara tepi-tepi anterior sirip punggung kedua dan sirip anal;
f.     Ikan-ikan tuna mata besar dengan ukuran lebih dari 75 cm (10 kg) mempunyai sirip dada yang lebih panjang dari pada ikan tuna sirip kuning dari ukuran-ukuran yang sebanding.


B.     TINGKAH LAKU DAN KEBIASAAN HIDUP IKAN
1.        Distribusi, Habitat dan Tingkah Laku Renang
Dilansir dari situs www.fishbase.org, lingkungan hidup atau habitat ikan tuna mata besar berada pada kedalaman 0 – 250 m, biasanya 0 – 50 m. Ikan ini juga termasuk ikan pelagis oseanik yang melakukan migrasi ke berbagai perairan samudera. Hidupnya terutama di perairan subtropis, yakni pada lintang 45° LU - 43° LS, serta 180° BB – 180° BT, yang berada pada kisaran suhu 13° - 29° C.
Sedangkan suhu perairan yang optimum bagi ikan tuna mata besar adalah berada pada rentang 17° - 22° C. Hal ini berkaitan dengan kisaran suhu termoklin yang tetap. Bahkan, di perairan Pasifik tropis bagian barat dan tengah, konsentrasi utama Thunnus obesus berkaitan erat dengan perubahan musim dan iklim pada suhu permukaan dan termoklin. Kelompok juvenil dan dewasa kecil dari tuna ini membetuk schooling di permukaan dalam kelompok yang sejenis atau bersama-sama dengan tuna sirip kuning dan/atau cakalang. Gerombolan tersebut dapat berasosiasi dengan benda-benda yang mengambang. Pembentukan gerombolan (schooling) ini biasanya terjadi saat tuna mata besar melakukan migrasi.
Distribusi tuna mata besar di dunia sendiri tersebar di Atlantik, Indian dan Pasifik terutama di perairan tropis dan subtropis, kecuali di daerah Mediterania. Di Indonesia, daerah penyebaran tuna, termasuk tna mata besar, secara horisontal meliputi perairan barat dan selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, Laut Banda dan sekitarnya, Laut Sulawesi dan perairan barat Papua. Ikan betina dewasa lebih banyak ditemukan di perairan tropis. Sementara itu, ikan tuna dewasa ditemukan setiap tahun di daerah sekitar barat dan tengah Samudera Hindia, meskipun juga jarang di bagian timur pada April hingga Desember. Laju tangkap di Samudera Hindia ini sangat rendah pada kedalaman kurang dari 100 m dan meningkat pada kedalaman lebih dari 200 m.
Distribusi ikan tuna di laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal meliputi jenis (genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku (behaviour). Perbedaan genetis ini menyebabkan perbedaan dalam struktur morfologis, respon fisiologis dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor eksternal yang merupakan faktor lingkungan, di antaranya adalah parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan termoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan. Suhu dan kedalaman termoklin menjadi faktor utama distribusi vertikal dan horisontal dari tuna mata besar.
Selain itu, salah satu faktor yang menyebabkan penyebaran ikan ini dapat meliputi wilayah geografis yang cukup luas adalah kecepatan renangnya yang mencapai 50 km/jam, serta kemampuannya dalam penyebaran dan migrasi lintas samudera. Ikan tuna mata besar juga memiliki pola tingkah laku renang yang khas berdasarkan kedalaman. Pada malam hari, ikan ini berenang pada lapisan permukaan hingga kedalaman kira-kira 50 m, sedangkan pada siang hari tuna mata besar mampu menyelam hingga kedalaman 500 m.

2.        Reproduksi dan Kebiasaan Makan
Dilansir dari situs resmi FAO (Food and Agriculture Organization) A.S, di Pasifik timur beberapa pemijahan telah dicatat pada lintang 10° LU dan 10° LS sepanjang tahun, dengan puncak dari April hingga September di belahan bumi utara dan antara Januari dan Maret di belahan bumi selatan. Disebutkan bahwa Kume (1967) menemukan korelasi antara terjadinya ketidakaktifan tuna mata besar secara seksual dengan penurunan suhu permukaan di bawah 23° atau 24° C. Tuna ini bertelur setidaknya dua kali setahun, jumlah telur per pemijahan diperkirakan 2,9 juta hingga 6,3 juta.
Di Samudera Pasifik, ukuran minimum tuna mata besar pertama kali matang seksual sekitar 100 cm. Sedangkan di Pasifik bagian barat ikan betina 50% bereproduksi dengan ukuran pertama matang seksual adalah 135 cm dan ukuran minimum matang seksual adalah 102 cm. Sedangkan di Samudera Hindia, panjang tubuh (Fork Length) saat matang 50% betina maupun jantan diperkirakan 88,08 dan 86, 85 cm. Dimana rasio kelamin bervariasi setiap bulan dengan selang kelas ikan tuna ukuran kecil (81-115 cm) lebih banyak ikan betina, dan pada ukuran besar (125-155 cm) terdiri dari ikan jantan.
Adapun kebiasaan tuna mata besar dalam mencari makanan adalah dengan cara bergerombol (schooling) yang terdiri dari ikan-ikan dengan ukuran tubuh relatif sama. Pencarian makan tersebut dilakukan baik di siang hari maupun di malam hari, namun lebih aktif di siang hari, sehingga penangkapan di siang hari lebih berhasil dibanding saat penangkapan di malam hari. Pada malam hari, tuna mata besar juga berenang di lapisan tengah untuk menghindari kompetisi makanan. Dalam upaya penangkapan mangsa, ikan ini menggunakan gerakan hebat dalam kolom air. Pergerakan ikan tuna naik turun di kolom air tersebut juga disesuaikan dengan ketersediaan makanan. Tuna mata besar sendiri tergolong karnivora yang makanannya mencakup berbagai jenis ikan, cumi dan udang-udangan. Sedangkan predator utamanya adalah billfish besar dan paus bergigi.

C.     PENANGKAPAN TUNA MATA BESAR
Pada penangkapan tuna mata besar dalam skala Internasional, Jepang menempati urutan pertama, diikuti oleh Republik Korea dengan perbedaan yang jauh lebih tinggi. Secara global, penangkapan tuna jenis ini meningkat dari sekitar 164.000 ton di tahun 1974 hingga mencapai 201.000 ton persegi pada tahun 1980, dan mencapai puncaknya sebesar 214000 ton pada tahun 1977 (FAO, 1981). Dari tahun 1981 diperkirakan terjadi penurunan menjadi sekitar 167.000 ton (FAO, 1983). Di Samudera Hindia, penangkapan tuna mata besar didominasi oleh armada Jepang hingga akhir tahun 60-an, tapi kemudian operasi kapal dari Republik Korea menjadi lebih berperan, dan telah menyumbang lebih dari 60% dari hasil tangkapan di akhir 70-an.
Teknik memancing yang paling penting adalah dengan alat tangkap longline (rawai tuna) yang terdiri dari sekitar 400 rangkaian (terdiri dari 5 branch line, dan masing-masing dengan kail berumpan) dan memperluas hingga mencapai 130 km. Spesies yang biasa digunakan sebagai umpan meliputi (dalam bentuk beku) Yellowtail Pasifik (Cololabis saira), Chub mackerel (Scomber japonicus), jack mackerel (Trachurus) dan cumi-cumi. Operasi pada waktu siang dan malam umumnya dilakukan sepanjang tahun, tetapi ada variasi kelimpahan musiman yang jelas nampak dalam perubahan effort. Pada tahun 70-an, longline untuk perairan dalam memasang 10 sampai 15 branch line per rangkaian longline. Jenis baru dari alat tangkap ini secara teoritis mampu memancing sampai pada kedalaman 300 m, dimana biasanya hanya mencapai 170 m dengan alat tangkap longline tradisional.
Tingkat tangkapan meningkat selama sekitar 3 tahun dan kemudian menurun ke tingkat selanjutnya, hal ini menunjukkan bahwa hanya sebagian dari sumber daya tuna mata besar yang dieksploitasi. Tuna mata besar dieksploitasi dalam jumlah yang meningkat sebagai tangkapan lain pada penangkapan pole and line di musim semi dan musim panas di barat laut Pasifik, dan pada purse seine di Pasifik timur, dimana keduanya dioperasikan untuk menangkap cakalang dan yellowfin tuna sebagai tangkapan utama.
Di perairan Samudera Hindia, penangkapan tuna mata besar dengan tuna longline meliputi selatan Jawa Timur, Bali sampai Nusa tenggara. Sebagian dari kapal tuna longline sudah beroperasi hingga sebelah selatan lintang 13° LS atau mencapai wilayah perairan laut bebas (sudah di luar ZEE Indonesia). Daerah-daerah penangkapan tuna mata besar di Indonesia  antara lain Laut Banda, Laut Maluku, dan perairan selatan Jawa terus menuju timur serta perairan selatan dan barat Sumatera.
Dalam penangkapan tuna mata besar, baik dengan longline maupun pole and line, umpan menjadi salah satu faktor penting dalam mendukung keberhasilan proses penangkapan. Syarat umpan yang baik adalah mempunyai sisik mengkilat, tidak berlendir, warna punggung gelap kebiruan sedang bagian perut keperakan, tubuh masih utuh dan sisiknya melekat kuat pada kulit, serta mempunya panjang 15 – 20 cm.
Penangkapan tuna di Indonesia pada umumnya dilakukan pada musim-musim tertentu yang berbeda-beda pada tiap daerah. Di Ambon, puncak musim penangkapan terjadi pada bulan Februari-April dan September-Oktober, Ternate pada bulan April-Juni dan September-Oktober, Sorong pada bulan Februari-Juni, Bitung (Aertembaga) pada bulan Maret-Mei dan Agustus-November, barat Sumatera pada bulan September-Desember, serta selatan Jawa antara Mei-Oktober.




BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai tuna mata besar bisa ditarik kesimpulan bahwa tuna mata besar (big eye tuna) termasuk dalam famili Scombridae dengan nama ilmiah Thunnus obesus. Secara morfologi bigeye tuna memiliki bentuk tubuhnya seperti torpedo dengan sirip dada yang panjang, finlet berjumlah 8-10 setelah sirip punggung dan 7-10 di belakang sirip yang berwarna kuning terang dan hitam pada ujungnya. Sirip punggung pertama berwarna kuning terang, sirip punggung kedua dan sirip dubur berwarna kuning muda. Bigeye Tuna bisa mencapai panjang 250 cm dengan berat maksimumnya 210 kg (pada usia yang pernah dilaporkan 11 tahun).
Spesies Thunnus hidup di perairan subtropis, yakni pada lintang 45° LU - 43° LS, serta 180° BB – 180° BT, yang berada pada kisaran suhu 13° - 29° C dengan suhu optimum 17° - 22° C pada kedalaman 0 – 250 m. Sedangkan distribusi tuna mata besar di dunia sendiri tersebar di Atlantik, Indian dan Pasifik terutama di perairan tropis dan subtropis, kecuali di daerah Mediterania. Di Indonesia, penyebaran meliputi perairan barat dan selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, Laut Banda dan sekitarnya, Laut Sulawesi dan perairan barat Papua. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah faktor internal (jenis/genetis, umur dan ukuran, tingkah laku/behaviour), dan faktor eksternal (suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan termoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan).
Waktu pemijahan tuna mata besar terjadi dari April hingga September di belahan bumi utara dan antara Januari dan Maret di belahan bumi selatan. Tuna ini bertelur setidaknya dua kali setahun, jumlah telur per pemijahan diperkirakan 2,9 juta hingga 6,3 juta. Ukuran minimum tuna mata besar pertama kali matang seksual umumnya sekitar 100 cm.
Tuna mata besar tergolong karnivora yang memakan berbagai jenis ikan, cumi dan udang-udangan dan mencari makanan dengan cara bergerombol (schooling) yang terdiri dari ikan-ikan dengan ukuran tubuh relatif sama. Pencarian makan tersebut dilakukan baik di siang hari maupun di malam hari, namun lebih aktif di siang hari, sehingga penangkapan di siang hari lebih berhasil dibanding saat penangkapan di malam hari. Sedangkan predator utamanya adalah billfish besar dan paus bergigi.

B.     Saran
Pengetahuan mengenai tuna mata besar atau bigeye tuna (Thunnus obesus) sangat perlu dikembangkan terutama dalam hal penyebaran atau distribusinya. Sebab dari informasi distribusi dapat diketahui pergeseran tingkat hook rate dari bulan ke bulan atau dari tahun ke tahun. Hook rate adalah jumlah ikan yang tertangkap pada setiap 100 mata pancing terpasang. Semakin besar nilai hook rate, semakin banyak jumlah penangkapan di wilayah tersebut.




DAFTAR RUJUKAN

Ariyanto, Yosep Heri. 2000. Studi tentang Laju Pancing dan Pola Musim Penangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Perairan Selatan Jawa-Sumbawa, Samudera Hindia (Studi Kasus PT. Sari Segara Utama, Benoa-Bali). Skripsi. Insitut Pertanian Bogor. Bogor
Faizah, Ria. 2010. Biologi Reproduksi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Perairan Samudera Hindia. Tesis. Insitut Pertanian Bogor. Bogor
FAO. 2013. Thunnus obesus (Lowe, 1839). http://www.fao.org/fishery/species/2498/en. Diakses pada tanggal 03 Desember 2013, pukul 04:50 WIB
Fishbase. 2013. Thunnus obesus (Lowe, 1839). http://www.fishbase.org/summary/Thunnus-obesus.html. Diakses pada tanggal 03 Desember 2013, pukul 06:25 WIB
Murdaniel, Rama Putri Sri. 2007. Pengendalian Kualitas Ikan Tuna untuk Tujuan Ekspor di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zacham Jakarta. Skripsi. Insitut Pertanian Bogor. Bogor

Nugraha, Budi. 2009. Studi tentang Genetika Populasi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) Hasil Tangkapan Tuna Longline yang Didaratkan di Benoa. Tesis. Insitut Pertanian Bogor. Bogor

Kamis, 09 Oktober 2014

MAKALAH Dinamika Ekosistem Laut: Struktur Vertikal Lautan Terbuka: Faktor Biologi Mixed Layer

KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya kami diberi kesempatan untuk menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah dengan judul “Struktur Vertikal Lautan Terbuka: Faktor Biologi Mixed Layer” ini disusun sebagai tugas matakuliah Dinamika Ekosistem Laut. Penyusunan makalah ini didasarkan pada buku Dynamic of Marine Ecosystem: Biological–Physical Interactions in the Oceans (3rd Edition) karya K.H. Mann & J.R.N. Lazier yang difokuskan pada Bab 3 yaitu Vertical Structure Of The Open Ocean: Biology Of The Mixed Layer
            Selanjutnya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi civitas akademika yang hendak mengkaji tentang struktur vertikal di laut dalam hubugannya dengan faktor biologi. Selain itu semoga makalah ini juga menjadi salah satu sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan menjadi lebih baik.
            Akhir kata, penyusun memohon maaf jika dalam penyusunan makalah ini terjadi kesalahan ejaan maupun isi. Penyusun menyadari makalah ini jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyusunan makalah yang lebih baik.



Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
Dalam buku Dynamic of Marine Ecosystem: Biological–Physical Interactions in the Oceans karya K.H. Mann & J.R.N. Lazier, pada bab 3 disebutkan bahwa salah satu masalah yang dihadapi fitoplankton di laut adalah bahwa mereka perlu cahaya dan nutrisi untuk pertumbuhan dan reproduksi, tetapi sumber cahaya datang dari atas, sedangkan sumber nutrisi datang dari  bawah. Energi matahari yang mencapai permukaan air diserap ke bawah, menurun secara eksponensial dengan kedalaman. Dalam lapisan terbatas, zona eufotik, terdapat cukup cahaya untuk fotosintesis dan berlangsungnya pertumbuhan. Dalam kolom air tanpa turbulensi, zona eufotik akan kehabisan nutrisi sebagai akibat dari penyerapan oleh fitoplankton.
Dalam dunia nyata, laut diisi dengan berbagai gerak, yang dihasilkan oleh angin di permukaan, gelombang internal, dan sebagainya. Pada fitoplankton bergantung pada turbulensi ini  karena, berkaitan dengan beberapa proses fisik yang mempengaruhi distribusi vertikal cahaya, panas, dan nutrisi, untuk lebih memahami dinamika produksi fitoplankton. Rata-rata, situasi di laut terbuka kurang kompleks daripada di perairan pantai, dimana pengaruh aliran air tawar dari tanah, arus pasang surut, dan dari topografi pesisir menyebabkan tingkat tinggi kompleksitas.
1.2.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah berdasarkan buku Dynamic of Marine Ecosistem ini antara lain:
1.        Bagaimana struktur vertikal perairan dan produktivitas fitoplankton di perairan tropis?
2.        Bagaimana struktur vertikal perairan dan produktivitas fitoplankton di perairan subtropis dan kutub?
3.        Bagaimana kondisi perairan dengan karakteristik khusus, yang tidak seperti periran tropis maupun subtropis?
4.        Bagaimana pandangan yang terintegrasi terhadap produksi primer?
5.        Bagaimana sistem pada terjadinya produksi sekunder dan mixed-layer?
1.3.    Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah “Struktur Vertikal Lautan Terbuka: Faktor Biologi Mixed Layer” ini adalah:
1.        Mengetahui struktur vertikal perairan dan produktivitas fitoplankton di perairan tropis.
2.        Mengetahui struktur vertikal perairan dan produktivitas fitoplankton di perairan subtropis dan kutub.
3.        Mengetahui kondisi perairan dengan karakteristik khusus, yang tidak seperti periran tropis maupun subtropis.
4.        Mengetahui pandangan dunia yang terintegrasi terhadap produksi primer.
5.        Mengetahui pada terjadinya produksi sekunder dan mixed-layer.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.    Struktur Vertikal dan Produksi Fitoplankton di Perairan Tropis
2.1.1.   Panas yang masuk dan hilang
Radiasi matahari yang mencapai permukaan laut, sering disebut radiasi gelombang pendek, mengandung energi lebih dari berbagai panjang gelombang dari cahaya ultraviolet pada 300 nm dengan inframerah jauh pada 2400 nm. Radiasi gelombang pendek yang diserap saat melewati air dan intensitas pada setiap panjang gelombang berkurang secara eksponensial dengan kedalaman, namun tingkat penurunan berbeda untuk setiap panjang gelombang. Dalam hal ini, cahaya biru diserap jauh lebih cepat dari infrared, dan setiap kedalaman tertentu intensitas cahaya biru adalah sebagian kecil lebih besar dari nilai permukaan dari  panjang gelombang cahaya yang lebih panjang.
Meskipun penyerapan radiasi dan angin yang dihasilkan dari panas terjadi melalui beberapa meter diatas laut, hilangnya panas hampir seluruhnya dari atas sentimeter. Kerugian terjadi terutama melalui penguapan, radiasi inframerah (gelombang panjang), dan konduksi. Seperti perkiraan radiasi gelombang pendek, memperkirakan dari kehilangan panas dihitung dari rumus empiris yang berasal dari umum pengamatan meteorologi yang diperoleh dari kapal di laut.
2.1.2.   Suhu meningkat dan lapisan campuran
Penyerapan radiasi gelombang pendek menyebabkan suhu air meningkat yang berbanding lurus dengan jumlah energi yang diserap. Dengan demikian, kenaikan suhu setelah panjang waktu tertentu akan sangat mirip dengan kurva pada Gambar 2. yang mewakili total penyerapan radiasi gelombang pendek. Pengamatan suhu dengan kedalaman di laut, biasanya tidak menyerupai kurva penyerapan ini karena lapisan atas laut biasanya diaduk oleh gelombang angin atau konveksi yang dihasilkan oleh hilangnya panas di permukaan. Lapisan diaduk ini di mana suhu tetap konstan dengan kedalaman, disebut lapisan campuran (mixee-layer). Kadang-kadang disebut juga lapisan permukaan campuran untuk membedakannya dari lapisan homogen di kedalaman atau di bagian bawah.
2.1.3.   Hambatan pycnocline
Di dasar lapisan campuran, gradien kerapatan atau pycnocline memisahkan lapisan air campuran ringan dari air padat bawah. Partikel padat akan lebih berat dari air di sekitarnya dan akan kembali ke permukaan. Demikian pula, partikel air dari atas lapisan berpindah ke bawah akan lebih ringan dibandingkan air sekitarnya dan akan bergerak ke atas permukaan.
2.1.4.   Produksi fitoplankton di daerah tropis dan lautan subtropis
Daerah luas laut dunia secara permanen bertingkat, dengan konsentrasi tinggi nutrisi dibawah pycnocline tersebut, konsentrasi rendah di atas, dan pycnocline bertindak sebagai penghalang untuk difusi turbulen nutrisi dari satu daerah ke yang lain. Situasi ini tidak sepenuhnya menghambat fotosintesis, karena organisme yang memangsa pada fitoplankton mengekskresikan zat gizi seperti amonium, sehingga pertumbuhan fitoplankton dan reproduksi dapat dipertahankan pada tingkat tertentu dengan nutrisi daur ulang.
Di perairan tropis distribusi vertikal nitrat, klorofil, dan produksi primer kurang lebih sama di semua musim sepanjang tahun. Di sisi lain, produktivitas plankton tidak tergantung secara langsung pada pencampuran nitrat dari air yang dalam. Sebaliknya organisme menggunakan amonium diekskresikan oleh organisme lain.
2.1.5    Equatorial upwelling dan kubah
Di khatulistiwa, angin musim bertiup ke arah Barat menimbulkan aliran Barat khatulistiwa dalam lapisan campuran. Sedangkan jauh dari khatulistiwa kekuatan Coriolis menyebabkan arus Utara khatulistiwa dibelokkan ke Utara, sementara arus selatan khatulistiwa dibelokkan ke Selatan. Sebuah perbedaan atau penyebaran air sehingga diatur dalam lapisan permukaan di khatulistiwa. Upwelling khatulistiwa mengarah ke komunitas biologis yang mencolok dengan pola yang memanjang sejajar dengan garis lintang. Hal ini kaya nutrisi tetapi tidak dalam fitoplankton.
Setelah jangka waktu yang lebih lama air bergerak lebih jauh dari khatulistiwa dan populasi zooplankton telah dikembangkan. Kemudian, lebih jauh dari khatulistiwa, populasi zooplankton karnivora mencapai maksimum. Akhirnya, pada saat air berada dekat dengan perbatasan utara dan selatan pusat arus khatulistiwa, komunitas yang termasuk adalah macroplankton dan ikan muda yang telah berkembang. Sementara peristiwa biologis berlangsung, massa air juga mengalir ke Barat dengan arus permukaan.
2.1.6.   Besarnya produksi fitoplankton khatulistiwa
Separuh bagian timur kawasan khatulistiwa Pasifik sangat produktif. Tingkat produksi per satuan luas dalam sistem upwelling pesisir jauh lebih tinggi, tapi daerah ini hanya sebagian kecil dari sistem upwelling Khatulistiwa. Gagasan lama yang mengatakan bahwa perairan Pasifik sebagian besar kekurangan nutrisi dan sudah tidak produktif tidak dapat dipertahankan.
2.1.7.   Paradoks nutrisi yang tinggi dan produktivitas rendah: hipotesis pembatasan zat besi dan silikat
Hipotesis jaring-jaring makanan mengatakan bahwa stabilitas sekitar mengizinkan evolusi dari keseimbangan jaring-jaring makanan dalam biomassa fitoplankton yang diadakan pada tingkat rendah oleh pemakan rumput. Fitoplankton pernah diperbolehkan menjadi cukup berlimpah untuk menggunakan semua nutrisi yang tersedia. Hipotesis kedua menunjukkan bahwa tanaman fitoplankton dibatasi oleh ketersediaan zat besi. Jika lebih banyak zat besi yang tersedia, tanaman fitoplankton akan meningkatkan dan menguras nutrisi utama, meskipun tekanan  dari jaring-jaring makanan.
2.2.    Struktur Vertikal dan Produksi Fitoplankton di Perairan Subtropis dan Kutub
Di perairan subtropis dan kutub, pergerakan massa air permukaan pada musim dingin bergabung dengan turbulensi pergerakan udara dingin. Hal ini menyebabkan penurunan mixed-layer (zona transisi) menuju zona yang lebih dalam dimana nutrien terkumpul. Turbulensi tersebut mengangkat nutrien menuju zona euphotic namun di sisi lain juga menyebabkan fitoplankton turun ke bawah zona euphotic tersebut. Pada zona ini, proses respirasi lebih sering terjadi daripada proses fotosintesis. Namun di akhir musim dingin ketika udara dan permukaan air menjadi lebih hangat, posisi mixed-layer menjadi lebih dangkal. Hal ini menyebabkan fitoplankton berada di atas lapisan pycnocline atau hidup di zona euphotic dan membuat aktivitasnya meningkat pesat yang menyebabkan terejadinya blooming di musim semi.
2.2.1.      Perubahan harian dan musiman kedalaman mixed-layer
Di perairan subtropis dan kutub terjadi perubahan suhu dan kedalaman mixed-layer (lapisan campuran) secara harian dan musiman. Perubahan harian bervariasi tergantung pada perubahan suhu yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kecepatan angin, perbedaan suhu perairan dan udara, dan jumlah awan, namun variasi ketinggian mataharilah yang memberi pengaruh terbesar. Oleh karena itu lapisan campuran pada kedalaman tetap akan menjadi lebih hangat di siang hari dan menjadi dingin di malam hari.
Untuk perubahan musiman pada dasanya sama seperti perubahan harian dimana ketinggian matahari berperan besar terhadap pergerakan posisi mixed-layer yang terjadi dalam skala bulanan. Selain itu perubahan kedalaman lapisan termoklin, juga menjadi poin utama. Perubahan kedalaman termoklin tersebut terjadi secara harian maupun bulanan yang dipengaruhi oleh perubahan panas selama pergantian musim. Contohnya kedalaman maksimum termoklin diurnal, yang merupakan kedalaman termoklin musiman, terus meningkat dari Desember sampai akhir Maret. Kemudian tiba-tiba menurun ketika panas yang diperoleh pada siang hari tidak hilang pada malam hari ataupun tercampur pada kedalaman besar oleh angin.
2.2.2.      Mekanisme blooming di musim semi
Pada musim semi di perairan subtropis Atlantik Utara terjadi peningkatan kelimpahan fitoplankton. Sedangkan di perairan subtropis Samudera Pasifik mengalami peningkatan kelimpahan fitoplankton secara bertahap dari pertengahan musim dingin sampai pertengahan musim panas. Hal ini terjadi karena adanya stabilisasi lapisan panas di perairan yang diakibatkan oleh peningkatan radiasi matahari di musim semi. Di musim dingin, sel fitoplankton didistribusikan pada kedalaman lapisan campuran sehingga fitoplankton hidup di lapisan yang kurang cukup cahaya untuk pertumbuhan. Dengan terjadinya pemanasan pada permukaan dan pembentukan lapisan campuran lebih dangkal, akhirnya pertumbuhan fitoplankton berkembang dengan pesat.
Percampuran saat musim dingin menyebabkan peningkatan konsentrasi nitrat di perairan, dan tingkat ini mencapai maksimal Maret. Pemanasan pada musim semi dan pendangkalan lapisan termoklin menyebabkan blooming pada akhir April dan awal Mei. Sedangkan konsentrasi nitrat menurun dengan cepat. Selama musim panas, produksi primer cukup tinggi dan tingkat klorofil rendah, karena zooplankton memangsa fitoplankton secepat produksi fitoplankton. Sebagian besar produksi primer dimungkinkan oleh adanya regenerasi amonium melalui ekskresi konsumen. Namun sebagian besar waktu terejadinya blooming ini berbeda-beda tergantung pada ketinggian lintang.
2.2.3.      Fase oligotrofik pada perairan subtropis
Setelah terjadinya bloming, perairan akan mengalami stratifikasi serta difusi vertikal nitrogen melalui pycnocline menjadi terbatasi yang meyebabkan produksi dalam mixed layer menjadi terbatas. Selama fase ini bentukan nutrisi, klorofil, dan produksi menyerupai sistem tropis oligotrophic, dan meluas sampai pada klorofil di bawah permukaan maksimum. Selain itu, karena siklus pertumbuhan fitoplankton dan kerusakan terjadi lebih cepat di dekat permukaan, maka penipisan nutrisi dan kerusakan populasi akan terjadi disana terlebih dahulu, sementara populasi pada lapisan perairan yang lebih dalam masih akan aktif tumbuh.
Menurut para ahli, ada dua pendapat mengenai produktivitas fitoplankton setelah terjadinya blooming. Yang pertama sebagian besar secara biologis dan tergantung pada tingkat penenggelaman fitoplankton. Proses kedua adalah secara fisik di alam dan tergantung pada penurunan bertahap pada pencampuran turbulen melewati pycnocline ditambah dengan penurunan intensitas cahaya sesuai kedalaman.
2.2.4.      Hasil pemodelan Lagrangian
Pada malam hari terjadi peningkatan pendinginan yang menyebabkan pendalaman secara progresif dari mixed-layer. Proses ini berlanjut sampai sekitar satu jam setelah matahari terbit, ketika pemanasan matahari mulai melebihi tingkat pendinginan permukaan dan mixed-layer akan semakin dangkal. Hal ini menyebabkan kolom air dibagi menjadi empat zona yang bervariasi ketebalannya sesuai dengan musim, yakni the mixed layer, the diurnal thermocline, the seasonal  thermocline, dan the interior of the ocean.
2.2.5.      Perpindahan  blooming di musim semi ke arah kutub
Pemeriksaan struktur vertikal dari perairan menunjukkan bahwa migrasi horizontal dari klorofil maksimum dekat permukaan tidak mengikuti gerakan utara dari wilayah lapisan campuran pendangkalan, tetapi mengikuti propagasi lambat dari 12 ° C singkapan isoterm. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa, di samping karena adanya stratifikasi yang stabil sebelum blooming terjadi, mungkin ada pembatasan suhu pada proses blooming.
2.2.6.      Peristiwa upwelling sementara
Selain pengayaan biologis yang terjadi di perairan terbuka akibat upwelling di divergensi pada lokasi yang relatif tetap, pengamatan satelit menunjukkan bahwa ada gelombang peningkatan yang tidak tetap pada klorofil permukaan. Pada peristiwa tersebut ditunjukkan peristiwa upwelling mesoscale (103-105 m) terdistribusi luas di luar perairan oligotrophic (Gower et al. 1980). Woods (1988) telah menunjukkan pada bagian Mesoscale konsentrasi klorofil tinggi dengan dimensi horizontal sekitar 10 km.
2.2.7.      Peristiwa musiman pada plankton di Kutub Utara
Sebagian besar awal kejadian musima plankton terjadi di Atlantik Utara, dimana puncak produksi fitoplankton terjadi pada musim semi tahunan dan hampir tidak ada produksi di musim dingin. Sedangkan Pasifik utara menghasilkan pola musiman yang berbeda karena produksi fitoplankton terus terjadi sepanjang musim dingin. Hal ini terjadi karena permukaan lapisan campuran di Pasifik Utara tidak mengalami pendalaman di musim dingin sebanyak di Atlantik yang diakibatkan oleh adanya perbedaan kepadatan antara lapisan campuran atas dan lapisan yang dalam di Pasifik. Perbedaan salinitas dimana lapisan permukaan relatif rendah daripada air yang dalam berperan dalam peristiwa ini. Salinitas yang lebih rendah terjadi karena tingkat penguapan dan sirkulasi permukaan di Pasifik lebih rendah, dibandingkan dengan Atlantik.
Karena produksi biologis lanjutan sepanjang musim dingin tersebut di atas, populasi zooplanktonsiap mampu mencegah penumpukan biomassa fitoplankton ketika terjadi peningkatan produksi fitoplankton di musim semi dengan pendangkalan lapisan campuran. Biomassa Mesozooplankton di lapisan campuran hanya 1-4% dari nilai musim panas, tapi komponen yang kuat dari microzooplankton ini dinilai mampu mencegah pembentukan blooming di musim semi. Karena banyak mesozooplankton memangsa microzooplankton, biomassa musim dingin rendah itu dianggap sebagai faktor penting dalam mempertahankan biomassa microzooplankton tinggi dan menghilangkan blooming musim semi.
2.2.8.      Divergence (penyimpangan) Antartika
Perairan dari Samudera Selatan menghasilkan fenomena yang tidak sama dengan perairan beriklim kutub atau di tempat lain. Peristiwa dikenal sebagai "Antarctic Divergence," yang disebabkan oleh dua sistem angin berputar-putar Antartika. Gaya Coriolis menyebabkan air mengalir ke arah pantai dan menyebabkan downwelling. Adanya peristiwa ini menyebabkan perairan mengandung banyak nitrat tetapi sangat tidak produktif.
2.2.9.      Front Kutub Arktik
Produksi primer di Laut Barents dibagi menjadi utara dan bagian selatan oleh front kutub. Pada front kutub sebelah utara, pencairan es di musim semi menginduksi stabilitas di atas 20 m dari kolom air, memulai blooming musim semi. Nutrisi cepat habis dan pycnocline yang kuat mencegah upwelling nutrisi dengan pencampuran angin. Blooming berumur pendek bergerak terus ke utara dengan pencairan es. Sedangkan front kutub sebelah selatan, kejadian yang berkaitan dengan blooming musim semi lama terjadi. Setelah blooming, pencampuran vertikal periodik air yang kaya nutrisi didorong oleh peristiwa angin merangsang semburan lebih lanjut dari produksi diatom.
2.3.    Pola Khusus Iklim Subtropis
Iklim subtropis terletak antara 23½° - 40° LU dan 23½° - 40° LS. Daerah ini merupakan peralihan antara iklim tropis dan iklim sedang. Ciri – ciri iklim subtropis adalah sebagai berikut:
o   Batas yang tegas tidak dapat ditentukan dan merupakan daerah peralihan dari daerah iklim tropis dan iklim sedang.
o   Terdapat empat musim, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musin dingin. Tetapi pada iklim ini musim panas tidak terlalu panas dan musim dingin tidak terlalu dingin.
o   Suhu sepanjang tahun tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin.
o   Daerah subtropis yang musim hujannya jatuh pada musim dingin dan musim panasnya kering disebut daerah Iklim Mediterania.
Daerah subtropis yang luas, yang terdiri dari hampir setengah wilayah lautan dunia, memiliki pola musiman produksi pelagis yang sesuai dengan baik pola klasik yang beriklim dingin / perairan kutub  maupun pola tropis yang stabilitas dengan variabilitas terhadap musiman sedikit. Karena matahari sudah tinggi di langit, dan biomassa fitoplankton rendah, fitoplankton tidak pernah cukup-terbatas. Efek dari periode singkat campuran lapisan pendalaman adalah untuk mengisi ulang lapisan atas dengan nutrisi, sehingga tingkat primer meningkat produksi melalui musim dingin dan puncak pada akhir musim semi sebelum nutrisi kembali menjadi pembatas. Biomassa fitoplankton tidak mencerminkan puncak dalam produksi primer, mungkin karena dihapus oleh pemangsaan zooplankton.
           2.4.    Keterkaitan Komponen Produksi Primer di Dunia
Ada dua kelompok rantai makanan yang ada di ekosistem laut yaitu rantai makanan grazing (grazing food chain) dan rantai makanan detrital (detritus food chain). Kedua jenis rantai makanan tersebut saling melengkapi dan membentuk sebuah siklus yang kontinus. Rantai makanan grazing dimulai dari proses transfer makanan pertama kali oleh organisme herbivora melalui proses grazing. Makanan pertama itu berupa fitoplankton yang merupakan sumber pertama bagi seluruh kehidupan di laut dan herbivor yang memanfatkan fitoplankton adalah zooplankton. Ujung dari rantai makanan ini adalah konsumer tingkat tinggi (seperti ikan dan konsumer lainnya) yang apabila mengalami kematian akan menjadi detritus pada ekosistem laut.
2.4.1 Definisi dari karakteristik pada subdivisi makhluk hidup pada lautan
Pada samudera tropis dan subtropis, stratifikasi adalah fitur permanen, dengan kedalaman lapisan campuran dipengaruhi oleh perubahan pertukaran angin, dan ganggang yang diproduksi oleh arus ekman, upwelling eddy, dan proses lainnya. Pada bioma kutub, produksi primer memiliki puncak pertengahan musim panas yang melalui perantara radiasi sinar matahari. Puncak biomassa fitoplankton di musim panas dan terjadi lagi di musim gugur. Sedangkan pada bioma barat puncak produksi musim semi dibatasi oleh nutrisi. Untuk zona Winter-musim semi produksi terjadi dengan keterbatasan nutrisi.
2.4.2.   Estimasi produksi primer global
Mahmudin (2009)  menyebutkan bahwa energi cahaya yang dipancarkan matahari ke bumi ± 7.000 kkal/m2/hari pada musim panas atau daerah tropis dalam keadaan tidak mendung. Dari jumlah tersebut, sebanyak ± 2.735 kkal dapat dimanfaatkan secara potensial untuk fotosintetis bagi tumbuhan. Sekitar 70% energy yang tersedia berperan dalam perantara pembentukan pemindahan energy secara fotokhemis ke fotosintesis. Dari total energy tersebut, hanya sekitar 28% diabsorbsi ke dalam bentuk yang menjadi bagian dari pemasukan energy ke dalam ekosistem.
Parameter lokal dari profil klorofil diperoleh dengan menganalisis lebih dari 26.000 profil dari sekitar 60 sumber yang berbeda. Profil-profil ini adalah dipecah antara 57 bagian biogeokimia, dan, dengan memasukkan estimasi nilai-nilai di mana tidak ada yang tersedia, penulis berhasil membuat perkiraan untuk empat kuartal satu tahun, berpusat pada hari kelima belas dari bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Perhitungan ini menyebabkan tertimbang bulanan berarti nilai-nilai produksi untuk masing-masing bagian, yang kemudian diintegrasikan sepanjang tahun untuk seluruh laut untuk memberikan global produksi primer air kolom.
2.4.3.   Penggunaan Data Satelit untuk Membedakan Baru dari Produksi Regenerasi
Watts et al. (1999) yang telah mengembangkan metode untuk menggunakan data satelit untuk menghitung produksi baru di laut-basin sisik, menggunakan data satelit real-time pada warna laut dan suhu permukaan laut. Protokol ini diterapkan pada Samudera Hindia barat laut, tapi bisa diterapkan tempat lain. Pengukuran dengan kapal selama periode hujan dan antar-monsun periode menyebabkan pembagian daerah menjadi enam provinsi, berdasarkan batimetri, suhu permukaan laut, dan klorofil pengukuran. Insiden cahaya dihitung dari prinsip pertama dan dikoreksi untuk real-time awan. Permukaan yang diambil dari satelit suhu klorofil data dan permukaan laut yang dimasukkan ke dalam model, yang dihitung laju fotosintesis seketika pada kedalaman z. Angka ini terintegrasi untuk memberikan produksi primer harian kolom air.
2.4.4.   Permodelan ekosistem laut pada skala global
Model interaksi berbagai kelas fitoplankton dengan satu sama lain, dengan mereka pasokan nutrisi dan dengan predator mereka, dengan umum cukup bahwa model tersebut dapat diterapkan pada berbagai kondisi, secara global. Sebagai contoh, Moore et al. (2002a) telah membuat model untuk lapisan campuran interaksi diatom, fitoplankton kecil, dan Diazotrophs (pemecah masalah nitrogen), dengan zooplankton mereka predator dan dengan masukan dari lima nutrisi yang berbeda dari batas bawah dari lapisan campuran. Model ini diberi input yang sesuai cahaya dan nutrisi untuk sembilan lokasi yang berbeda di seluruh dunia, dan ditemukan berada dalam perjanjian baik dengan pengamatan lapangan dari lokasi tersebut.
Mereka menemukan bahwa model direproduksi tinggi nitrat, kondisi rendah klorofil diamati di Selatan Ocean, sebelah timur laut Pasifik dan Pasifik ekuatorial. Mereka menemukan pula bahwa produksi primer, struktur komunitas, dan fluks karbon tenggelam sensitif terhadap variasi yang besar dalam sumber zat besi atmosfer, sehingga mendukung hipotesis besi Martin (1990). Moore et al. (2002b) menyatakan bahwa konvensi menyamakan nitrat masukan ke lapisan permukaan dengan ekspor karbon perlu dimodifikasi untuk menyertakan beberapa membatasi nutrisi.
2.4.5.   Penggunaan data satelit baru
Bersama dan Groom (2000) memberikan penjelasan sejarah remote sensing konsentrasi pigmen fitoplankton. Dari Warna scanner pada Pesisir (CZCS, 1978-1986), melalui Japanese Ocean Color and Temperature Sensor (OCTS, 1996-1997), Wide Field-of-view Sensor (SeaWiFS, 1997), dengan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS, 1999-), telah terjadi peningkatan progresif dalam jumlah wavebands dan signal-to-noise rasio. Bersama dan Groom (2000) melanjutkan untuk menggunakan data SeaWiFS untuk menghitung primer produksi selama tahun 1998 dan 1999 untuk wilayah termasuk Laut Celtic dan barat Selat Inggris, dengan menggunakan beberapa algoritma yang berbeda. Mereka menunjukkan bagaimana data satelit terus menerus dapat menangkap mekar fitoplankton berumur pendek yang tidak mungkin ditangkap oleh operasi berbasis kapal.
2.5   Produksi Sekunder dan Mixed Layer
2.5.1. Perairan oligotrophic
Hubungan antara struktur fisik vertikal dan zooplankton produksi diperumit oleh kemampuan beberapa mesozooplankters untuk membuat migrasi vertikal yang luas. Namun,di perairan oligotrophic, microzooplankton mendominasi dan mereka sebagian besar tidak dapat bermigrasi. Kelimpahan zooplankton jauh lebih besar di lapisan campuran daripada di bawahnya, dan dalam lapisan campuran kelimpahan terbesar ditemukan hanya di atas termoklin. Dekat bagian bawah termoklin biasanya ada penurunan tajam dalam kelimpahan zooplankton, di suatu wilayah yang spesialis sebut sebagai planktocline tersebut.
2.5.2. Zooplankton dan struktur perubahan musiman vertikal
Setiap model yang realistis dari pengembangan sebaran fitoplankton di perairan beriklim tropis harus memungkinkan untuk mengalami perubahan tekanan pada tubuhnya karena dua faktor, translokasi ke atas biomassa dan pertumbuhan zooplankton populasi in situ.

BAB III
PENUTUP

3.1.    Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dan sesuai dengan buku Dynamic of Marine Ecosystem bisa disimpulkan bahwa dalam kasus apapun, respon metabolisme sel-sel terkena cahaya berfluktuasi tidak jauh berbeda dari respon mereka yang terpapar dengan jumlah yang sama cahaya disampaikan pada tingkat yang konstan. Lebih dari setengah dari lautan dunia adalah di lintang tropis atau subtropis, dan profil tropis khas kolom air menunjukkan hangat, stabil, lapisan campuran dipisahkan dari air yang mendasari dingin oleh pycnocline tajam. Gizi konsentrasi sangat rendah di atas pycnocline tapi relatif tinggi di bawahnya.
Pada perairan samudera terbuka di daerah tropis ditemukan di zona upwelling pada khatulistiwa, di mana arus laut utama menyebabkan upwelling dan divergensi volume air yang besar dan kaya nutrisi dari bawah termoklin. Produksi primer didominasi oleh sel kecil (<5 besar="" dikendalikan="" jumlahnya="" lebih="" m="" mengandung="" microzooplankton="" o:p="" oleh="" sel="" sementara="" terbatas.="" yang="" zink="">
3.2.         Saran
Berdasarkan pembahasan, saran yang bisa diberikan adalah:
1.      Menjaga kelestarian lingkungan sehingga tidak merusak keseimbangan.
2.      Produktivitas perairan perlu dipantau untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi di alam.
3.      Perairan merupakan mediadinamis sehingga perlu dilakukan penelitian secara berkalauntuk memperbarui ilmu yang ada.

Daftar Rujukan
Leon. 2010. Daerah iklim subtropics. http://leonheart94.blogspot.com/2010/04/iklim-matahari.html. Diakses pada 3 oktober 2014
Mahmudin. 2009. Produktivitas Primer Ekosistem.  http://mahmuddin.wordpress.com/2009/09/09/produktivitas-primer-eksosistem/. Diakses pada 3 oktober 2014
Mann, K.H., dan J.R.N. Lazier. Dynamic of Marine Ecosystem: Biological–Physical Interactions in the Oceans (3rd Edition). Blackwell Publishing
Sunarto. 2008. Karakteristik Biologi Dan Peranan Plankton Bagi Ekosistem Laut. Karya ilmiah FPIK Universitas Padjajaran