Jumat, 14 Februari 2014

Haji Trend, Haji Style

Seandainya ada kejuaraan desa unik dan langka mungkin desaku akan menduduki puncak klasemen. Atau kalau ada suaka untuk desa aneh yang mulai punah, mungkin desaku yang akan menjadi penghuni pertama. Tahu mengapa? Karena desaku memiliki telinga dan mulut di mana-mana. Di gardu poskamling, di rumah Pak Lurah, di tempat jagong*, apa lagi di tempat pengajian, yang biasanya juga jadi tempat arisan, kedua alat indera manusia itu bertambah begitu cepat seperti layaknya amoeba berkembang biak. Selain telinga dan mulut yang tersebar di mana-mana, keunikan di desaku adalah orang-orangnya yang memiliki cermin. Bukan. Bukan cermin untuk berhias, tapi cermin untuk meniru orang lain, untuk ikut-ikutan. Aneh dan unik bukan? Tapi buruk untuk dilestarikan.

“Santo, kapan pulang? Begitu, ya? Sudah sukses di kota, lupa sama kampung halaman,” sapa Bu Sani, tetanggaku yang paling vokal dan hobi interogasi, ketika aku pulang dari kantor kecamatan dan melewati rumahnya.

“Sudah seminggu yang lalu, Bu. Tapi ya, begini, bolak-balik ngurus berkas ke kecamatan,” sahutku dengan menyunggingkan senyum semanis mungkin.

“Oh, jadi benar? Kalau kamu mau naik haji?” lanjut beliau.

“Ah! Ndak, Bu. Siapa bilang? Ini berkas pendirian usaha milik teman. Dia minta bantuan saya,” jawabku sesantai mungkin, meski dadaku berdegup kencang.

“Naik haji juga ndak apa-apa, kok,” sindir beliau. Aku tersenyum semanis kembang gula lagi.

“Ibu ini kok suka bercanda, ya? Uang dari mana, Bu? Usaha juga baru dimulai.”

“Siapa tahu? Tapi syukur kalau tidak. Uangnya lebih baik dikasihkan ke Mak, Bapakmu buat bangun rumah bambu itu. Atau untuk nikah nanti,” kata beliau dengan diselipi sindiran yang amat halus.

“Haji tuh hanya untuk orang kaya, ya kan?” lanjut beliau diringi tawa kecil. Aku tersenyum kecut. Hinaan yang benar-benar halus.

“He he he, iya. Ya sudah, saya permisi dulu, Bu,” pintaku undur diri. Makin lama tak kuat aku di sini. Entah karena memang tidak ada lagi berita yang bisa dikorek dariku, atau karena tidak ada lagi hinaan halus yang bisa dilontarkan lagi, atau mungkin karena sudah bosan, ibu itu mempersilahkan.

Huft....untung saja aku masih sanggup berdalih dan menahan diri. Sebenarnya berita haji itu tak sepenuhnya salah. Hanya saja yang naik haji adalah Mak dan Bapakku dengan uang yang kukumpulkan dari honor mengirim tulisan di media sana-sini. Awalnya mereka tidak setuju. Ya itu tadi, untuk uang nikahku saja. Apalagi umurku yang sudah seumuran Rasulullah ketika beliau melamar Siti Khadijah. Namun berkat bantuan dari keempat saudaraku, Mak dan Bapakku pun tak lagi punya alasan menolak. Meskipun Mak masih sering sangsi.

“Ya Allah, Le, Le. Mak mu ini sudah tua, bagaimana bisa naik haji? Mak juga belum siap. Shalat saja masih bolong-bolong. Mak mu ini lho ndak bisa ngaji juga. Nanti kalau di sana hilang dan ndak bisa pulang gimana?”

“Ya malah bagus kan, Mak? Malah dekat dengan kota lahir Nabi. Nanti kami jadi juga punya alasan untuk sering-sering ke Arab Saudi,” canda adik laki-lakiku. Biasanya setelah itu dia dan Mak berdebat kusir sampai Bapak ikut nimbrung.

Bukannya aku ndak mau jujur, tapi aku masih trauma dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. Sekitar 10 tahun yang lalu ada ustadz yang berdakwah di desaku. Kedatangan beliau menciptakan tren aqiqah. Hampir setiap orang melakukan aqiqah untuk anak-anaknya. Tahu, kan, kalau orang-orang di desaku punya cermin? Tapi suatu ketika ustadz itu difitnah seseorang. Beliau pun pergi, termasuk tren aqiqah. Karena itu lah aku masih belum siap jika haji ini juga menjadi tren nantinya.

۞                                ۞                                ۞

            Akhirnya, dengan sangat terpaksa, aku membiarkan berita haji itu tersebar. Ya, berita bahwa akulah yang akan naik haji, bukan kedua orang tuaku. Entah siapa yang menyebarkannya, bahkan guru-guru SMP ku sampai datang ke rumah yang masih berdinding bambu ini. Aku dan adikku tersenyum saat melihat ekspresi orang-orang ketika kuundang untuk syukuran keberangkatan haji kedua orang tuaku. Perkataan “oh...” seakan menjadi ringtone saat syukuran berlangsung.

         “Mas, kecele semua ya, mereka? Untung Mak dan Bapak sudah kita minta untuk diam saja. Eh, kayaknya banyak muncul ekspresi ngiri dan nggak percaya deh, Mas” bisik adikku.

             “Sudah. Biar saja. Yang penting kita sekarang bisa menghajikan Mak, Bapak.”

            “Kita? Loe aja kali, gue nggak,” lanjutnya dan langsung kujewer telinganya.

            Esoknya Mak dan Bapak pun berangkat diiringi ucapan salam dari para tetangga dan kerabat. Tapi ucapan salam itu masih kalah dengan permintaan titipan dan oleh-oleh haji dari mereka. Sejauh yang kudengar, tak ada yang minta nitip do’a. Benar-benar deh tetangga-tetanggaku itu. Memangnya haji itu semacam plesiran? Maklum saja, deh. Ziarah wali saja yang dibicarakan oleh-oleh.

۞                                ۞                                ۞

           Sebulan setelah itu, hal yang kukhawatirkan terjadi. Pembicaraan orang-orang adalah haji dan umroh. Beberapa dari mereka sudah ada yang mulai menceritakan rencana-rencananya. Orang-orang kaya baru mulai sibuk merencanakan umroh. Dan yang menjadi sasaran wawancara adalah aku. Aku jadi sering ditanyai ini itu, dan aku hanya bisa menjawab sebisanya. Karena jujur, aku saja dulu juga minta bantuan temanku untuk mengurus keberangkatan haji orang tuaku. Jika sudah lelah ditanyai yang bisa kulakukan adalah memberi nomor kontak temanku itu.

           “To! Enak banget ya Ente menyebarluaskan nomor orang?” protes Hambali lewat telepon.

         “Afwan, Akh. Habis Ane ditanyai tetangga dan banyak yang ndak Ane tahu,” jawabku dengan nada semelas mungkin.

          “Ya, tapi Ane akhirnya juga kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.”

          “Afwan banget, deh. Ente pernah kuceritakan tentang orang-orang di desaku, bukan? Ente baru segitu sudah kewalahan, apalagi Ane?” lanjutku. Hambali hanya tertawa.

       Tapi sekeras dan seramai apa pun pembicaran orang-orang di desaku, tidak pernah ada yang berangkat. Bahkan setengah tahun setelah kepulangan orang tuaku, yang ramai hanyalah rencana-rencana. Hingga suatu hari ketika aku baru pulang diajak umroh Hambali, seseorang menelponku.

            “Santo, ini Nek Kartini. Kamu bisa bantu Nenek tidak?,” tanya orang di seberang sana. Nek Kartini adalah istri dari paman ibuku.

            “Iya, Nek. Silahkan.”

            “Nenek bingung, San. Kakekmu itu ingin naik haji. Bahkan tanah ladang sudah dijual semua. Nenek ndak tahu harus gimana,” keluh beliau.

            “Lha paman-paman dan bibi bagaimana, Nek?” tanyaku iba. Kakekku itu sudah tua, berjalan pun sulit. Beliau sudah tiga kali terkena serangan jantung, tekanan darahnya tinggi.

            “Hegh....sudah bosan mereka menasihati kakekmu,” beliau diam sebentar, “jadi kira-kira apakah kamu bisa membantu menguruskan haji kakekmu?”

            “Nenek juga ikut?” tanyaku.

            “Ah, amal Nenek masih bolong-bolong. Tapi nanti kalau biayanya cukup mungkin Nenek juga ikut,” jawab beliau.

            Aku mendesah. Mengingat kembali keadaan orang tuaku yang membaik sepulangnya dari haji. Ibadah mereka bertambah giat, dan yang pasti mereka tidak perlu lagi jadi buruh karena aku dan adikku sudah bisa menggantikan Bapak sebagai tulang punggung keluarga. Namun, perubahan keadaan yang mendadak itu disalahartikan oleh kebanyakan tetangga. Ada yang bilang itu cuma kedok, pura-pura, bahkan ada yang bilang kalau kami melakukan pesugihan. Hegh....orang kecil memang selalu jadi sasaran.

            “Ada apa, San? Wajah ente kusut begitu?” tanya Hambali. Kuceritakan saja permintaan Nek Kartini. Syukur alhamdulillah dia bersedia membantu.

            Akhirnya kakekku itu jadi berangkat haji sendirian. Istrinya tidak jadi ikut karena dilarang anak-anaknya. Dan tentu saja, makin banyak wajah iri yang muncul. Perbincangan tentang haji pun kembali jadi trending topic, dan tweet yang jadi favorit adalah dari Bu Sani. Apalagi kudengar beliau sudah punya tabungan dan siap berangkat haji tahun depan. Dan kalau telinga dan mulut banyak terkumpul padanya, muncul sudah fatwa-fatwa darinya yang bahkan tidak ada di dalam Al-Quran, Hadits, ataupun Ijtihad para alim ulama.

            Namun, perbincangan haji itu mulai meredup lagi ketika kakekku pulang namanya saja. Menurut kawan-kawan seperjalanannya, ketika rangkaian kegiatan haji berakhir beliau mengalami serangan jantung dan tidak bisa terselamatkan. Beliau meninggal satu jam kemudian.

            “Waktu kami mau melempar jumrah terakhir, Pak Thamrin bilang kalau beliau meninggal di sana beliau ingin dimakamkan di sana. Kami kira beliau bercanda, tapi ternyata....,” ujar Pak Priyanto, kawan seperjalanan kakek.

            Sejak itu, perbincangan tentang haji kian meredup dan akhirnya hilang sama sekali.

۞                                ۞                                ۞

        Setahun kemudian, sehabis hari raya Idul Fitri, entah dari mana asalnya, perbincangan tentang haji kembali hangat. Ternyata berita bahwa Bu Sani hendak berangkat benar adanya. Mulut dan telinga pun menyebar cepat layaknya jamur di musim hujan. Namun yang paling banyak adalah jamur beracun, atau berita yang tidak enak didengar. Pasalnya meski memang rumahnya bisa dibilang mewah, tapi Bu Sani itu tidak memiliki usaha apa pun. Suaminya pun petani biasa. Anak laki satu-satunya juga sudah berkeluarga. Hanya saja beliau adalah bendahara masjid kami. Dan....ah sudahlah tidak baik membicarakan orang. Yang pasti, akhirnya beliau mengadakan acara syukuran yang besar dan mewah melebihi pesta pernikahan anaknya dahulu.

            Hingga suatu pagi ketika aku baru pulang jogging kulihat Pak Joni, suami Bu Sani, tergopoh meninggalkan rumahnya.

            “Lho, mau ke mana, Pak? Kelihatannya kok terburu begitu? Bu Sani bukannya masih lama?” sapaku.

            “Ya ampun, Santo....Bibimu kena tipu. Dia salah agen biro haji. Memang dia berangkat ke Arab Saudi, tapi tidak pernah haji. Dan petugas yang dulu mendampinginya hilang berikut barang-barang yang dibawanya,” jawab Pak Joni cepat.

            “Masya Allah. Benar, Pak?” tanyaku tak percaya.

            “Iya. Ya sudah, saya mau ngurus masalah ini dulu,” kata beliau langsung berlalu.

Aku terpaku di depan rumahnya. Seakan tersadar bahwa haji memang bukan semacam tren, plesiran atau semacamnya. Haji adalah ibadah sakral. Ah, semoga dengan ini tetangga-tetanggaku akan sadar tentang makna ibadah sebenarnya. Dan telinga, mulut, dan cermin-cermin itu kuharap segera hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar