Seandainya
ada kejuaraan desa unik dan langka mungkin desaku akan menduduki puncak
klasemen. Atau kalau ada suaka untuk desa aneh yang mulai punah, mungkin desaku
yang akan menjadi penghuni pertama. Tahu mengapa? Karena desaku memiliki
telinga dan mulut di mana-mana. Di gardu poskamling, di rumah Pak Lurah, di
tempat jagong*, apa lagi di tempat
pengajian, yang biasanya juga jadi tempat arisan, kedua alat indera manusia
itu bertambah begitu cepat seperti layaknya amoeba berkembang biak. Selain
telinga dan mulut yang tersebar di mana-mana, keunikan di desaku adalah
orang-orangnya yang memiliki cermin. Bukan. Bukan cermin untuk berhias, tapi
cermin untuk meniru orang lain, untuk ikut-ikutan. Aneh dan unik bukan? Tapi
buruk untuk dilestarikan.
“Santo, kapan pulang? Begitu, ya? Sudah sukses di kota, lupa sama kampung halaman,” sapa Bu Sani, tetanggaku yang paling vokal dan hobi interogasi, ketika aku pulang dari kantor kecamatan dan melewati rumahnya.
“Sudah seminggu yang lalu, Bu. Tapi ya, begini, bolak-balik ngurus berkas ke kecamatan,” sahutku dengan menyunggingkan senyum semanis mungkin.
“Oh, jadi benar? Kalau kamu mau naik haji?” lanjut beliau.
“Ah! Ndak, Bu. Siapa bilang? Ini berkas pendirian usaha milik teman. Dia minta bantuan saya,” jawabku sesantai mungkin, meski dadaku berdegup kencang.
“Naik haji juga ndak apa-apa, kok,” sindir beliau. Aku tersenyum semanis kembang gula lagi.
“Ibu ini kok suka bercanda, ya? Uang dari mana, Bu? Usaha juga baru dimulai.”
“Siapa tahu? Tapi syukur kalau tidak. Uangnya lebih baik dikasihkan ke Mak, Bapakmu buat bangun rumah bambu itu. Atau untuk nikah nanti,” kata beliau dengan diselipi sindiran yang amat halus.
“Haji tuh hanya untuk orang kaya, ya kan?” lanjut beliau diringi tawa kecil. Aku tersenyum kecut. Hinaan yang benar-benar halus.
“He he he, iya. Ya sudah, saya permisi dulu, Bu,” pintaku undur diri. Makin lama tak kuat aku di sini. Entah karena memang tidak ada lagi berita yang bisa dikorek dariku, atau karena tidak ada lagi hinaan halus yang bisa dilontarkan lagi, atau mungkin karena sudah bosan, ibu itu mempersilahkan.
Huft....untung saja aku masih sanggup berdalih dan menahan diri. Sebenarnya berita haji itu tak sepenuhnya salah. Hanya saja yang naik haji adalah Mak dan Bapakku dengan uang yang kukumpulkan dari honor mengirim tulisan di media sana-sini. Awalnya mereka tidak setuju. Ya itu tadi, untuk uang nikahku saja. Apalagi umurku yang sudah seumuran Rasulullah ketika beliau melamar Siti Khadijah. Namun berkat bantuan dari keempat saudaraku, Mak dan Bapakku pun tak lagi punya alasan menolak. Meskipun Mak masih sering sangsi.
“Ya Allah, Le, Le. Mak mu ini sudah tua, bagaimana bisa naik haji? Mak juga belum siap. Shalat saja masih bolong-bolong. Mak mu ini lho ndak bisa ngaji juga. Nanti kalau di sana hilang dan ndak bisa pulang gimana?”
“Ya malah bagus kan, Mak? Malah dekat dengan kota lahir Nabi. Nanti kami jadi juga punya alasan untuk sering-sering ke Arab Saudi,” canda adik laki-lakiku. Biasanya setelah itu dia dan Mak berdebat kusir sampai Bapak ikut nimbrung.
Bukannya aku ndak mau jujur, tapi aku masih trauma dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. Sekitar 10 tahun yang lalu ada ustadz yang berdakwah di desaku. Kedatangan beliau menciptakan tren aqiqah. Hampir setiap orang melakukan aqiqah untuk anak-anaknya. Tahu, kan, kalau orang-orang di desaku punya cermin? Tapi suatu ketika ustadz itu difitnah seseorang. Beliau pun pergi, termasuk tren aqiqah. Karena itu lah aku masih belum siap jika haji ini juga menjadi tren nantinya.
“Santo, kapan pulang? Begitu, ya? Sudah sukses di kota, lupa sama kampung halaman,” sapa Bu Sani, tetanggaku yang paling vokal dan hobi interogasi, ketika aku pulang dari kantor kecamatan dan melewati rumahnya.
“Sudah seminggu yang lalu, Bu. Tapi ya, begini, bolak-balik ngurus berkas ke kecamatan,” sahutku dengan menyunggingkan senyum semanis mungkin.
“Oh, jadi benar? Kalau kamu mau naik haji?” lanjut beliau.
“Ah! Ndak, Bu. Siapa bilang? Ini berkas pendirian usaha milik teman. Dia minta bantuan saya,” jawabku sesantai mungkin, meski dadaku berdegup kencang.
“Naik haji juga ndak apa-apa, kok,” sindir beliau. Aku tersenyum semanis kembang gula lagi.
“Ibu ini kok suka bercanda, ya? Uang dari mana, Bu? Usaha juga baru dimulai.”
“Siapa tahu? Tapi syukur kalau tidak. Uangnya lebih baik dikasihkan ke Mak, Bapakmu buat bangun rumah bambu itu. Atau untuk nikah nanti,” kata beliau dengan diselipi sindiran yang amat halus.
“Haji tuh hanya untuk orang kaya, ya kan?” lanjut beliau diringi tawa kecil. Aku tersenyum kecut. Hinaan yang benar-benar halus.
“He he he, iya. Ya sudah, saya permisi dulu, Bu,” pintaku undur diri. Makin lama tak kuat aku di sini. Entah karena memang tidak ada lagi berita yang bisa dikorek dariku, atau karena tidak ada lagi hinaan halus yang bisa dilontarkan lagi, atau mungkin karena sudah bosan, ibu itu mempersilahkan.
Huft....untung saja aku masih sanggup berdalih dan menahan diri. Sebenarnya berita haji itu tak sepenuhnya salah. Hanya saja yang naik haji adalah Mak dan Bapakku dengan uang yang kukumpulkan dari honor mengirim tulisan di media sana-sini. Awalnya mereka tidak setuju. Ya itu tadi, untuk uang nikahku saja. Apalagi umurku yang sudah seumuran Rasulullah ketika beliau melamar Siti Khadijah. Namun berkat bantuan dari keempat saudaraku, Mak dan Bapakku pun tak lagi punya alasan menolak. Meskipun Mak masih sering sangsi.
“Ya Allah, Le, Le. Mak mu ini sudah tua, bagaimana bisa naik haji? Mak juga belum siap. Shalat saja masih bolong-bolong. Mak mu ini lho ndak bisa ngaji juga. Nanti kalau di sana hilang dan ndak bisa pulang gimana?”
“Ya malah bagus kan, Mak? Malah dekat dengan kota lahir Nabi. Nanti kami jadi juga punya alasan untuk sering-sering ke Arab Saudi,” canda adik laki-lakiku. Biasanya setelah itu dia dan Mak berdebat kusir sampai Bapak ikut nimbrung.
Bukannya aku ndak mau jujur, tapi aku masih trauma dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. Sekitar 10 tahun yang lalu ada ustadz yang berdakwah di desaku. Kedatangan beliau menciptakan tren aqiqah. Hampir setiap orang melakukan aqiqah untuk anak-anaknya. Tahu, kan, kalau orang-orang di desaku punya cermin? Tapi suatu ketika ustadz itu difitnah seseorang. Beliau pun pergi, termasuk tren aqiqah. Karena itu lah aku masih belum siap jika haji ini juga menjadi tren nantinya.
۞ ۞ ۞
Akhirnya, dengan sangat terpaksa,
aku membiarkan berita haji itu tersebar. Ya, berita bahwa akulah yang akan naik
haji, bukan kedua orang tuaku. Entah siapa yang menyebarkannya, bahkan
guru-guru SMP ku sampai datang ke rumah yang masih berdinding bambu ini. Aku
dan adikku tersenyum saat melihat ekspresi orang-orang ketika kuundang untuk
syukuran keberangkatan haji kedua orang tuaku. Perkataan “oh...” seakan menjadi
ringtone saat syukuran berlangsung.
“Mas, kecele semua ya, mereka? Untung Mak dan Bapak sudah kita minta untuk diam saja. Eh, kayaknya banyak muncul ekspresi ngiri dan nggak percaya deh, Mas” bisik adikku.
“Sudah. Biar saja. Yang penting kita sekarang bisa menghajikan Mak, Bapak.”
“Mas, kecele semua ya, mereka? Untung Mak dan Bapak sudah kita minta untuk diam saja. Eh, kayaknya banyak muncul ekspresi ngiri dan nggak percaya deh, Mas” bisik adikku.
“Sudah. Biar saja. Yang penting kita sekarang bisa menghajikan Mak, Bapak.”
“Kita? Loe aja kali, gue nggak,” lanjutnya dan langsung kujewer
telinganya.
Esoknya Mak dan Bapak pun berangkat
diiringi ucapan salam dari para tetangga dan kerabat. Tapi ucapan salam itu
masih kalah dengan permintaan titipan dan oleh-oleh haji dari mereka. Sejauh
yang kudengar, tak ada yang minta nitip do’a. Benar-benar deh
tetangga-tetanggaku itu. Memangnya haji itu semacam plesiran? Maklum saja, deh.
Ziarah wali saja yang dibicarakan oleh-oleh.
۞ ۞ ۞
Sebulan setelah itu, hal yang
kukhawatirkan terjadi. Pembicaraan orang-orang adalah haji dan umroh. Beberapa
dari mereka sudah ada yang mulai menceritakan rencana-rencananya. Orang-orang
kaya baru mulai sibuk merencanakan umroh. Dan yang menjadi sasaran wawancara
adalah aku. Aku jadi sering ditanyai ini itu, dan aku hanya bisa menjawab
sebisanya. Karena jujur, aku saja dulu juga minta bantuan temanku untuk
mengurus keberangkatan haji orang tuaku. Jika sudah lelah ditanyai yang bisa
kulakukan adalah memberi nomor kontak temanku itu.
“To! Enak banget ya Ente menyebarluaskan nomor orang?” protes Hambali lewat telepon.
“To! Enak banget ya Ente menyebarluaskan nomor orang?” protes Hambali lewat telepon.
“Afwan, Akh. Habis Ane ditanyai
tetangga dan banyak yang ndak Ane tahu,”
jawabku dengan nada semelas mungkin.
“Ya, tapi Ane akhirnya juga
kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.”
“Afwan banget, deh. Ente pernah
kuceritakan tentang orang-orang di desaku, bukan? Ente baru segitu sudah
kewalahan, apalagi Ane?” lanjutku. Hambali hanya tertawa.
Tapi sekeras dan seramai apa pun pembicaran orang-orang di desaku, tidak pernah ada yang berangkat. Bahkan setengah tahun setelah kepulangan orang tuaku, yang ramai hanyalah rencana-rencana. Hingga suatu hari ketika aku baru pulang diajak umroh Hambali, seseorang menelponku.
Tapi sekeras dan seramai apa pun pembicaran orang-orang di desaku, tidak pernah ada yang berangkat. Bahkan setengah tahun setelah kepulangan orang tuaku, yang ramai hanyalah rencana-rencana. Hingga suatu hari ketika aku baru pulang diajak umroh Hambali, seseorang menelponku.
“Santo, ini Nek Kartini. Kamu bisa
bantu Nenek tidak?,” tanya orang di seberang sana. Nek Kartini adalah istri
dari paman ibuku.
“Iya, Nek. Silahkan.”
“Nenek bingung, San. Kakekmu itu
ingin naik haji. Bahkan tanah ladang sudah dijual semua. Nenek ndak tahu harus gimana,” keluh beliau.
“Lha paman-paman dan bibi bagaimana,
Nek?” tanyaku iba. Kakekku itu sudah tua, berjalan pun sulit. Beliau sudah tiga
kali terkena serangan jantung, tekanan darahnya tinggi.
“Hegh....sudah bosan mereka
menasihati kakekmu,” beliau diam sebentar, “jadi kira-kira apakah kamu bisa
membantu menguruskan haji kakekmu?”
“Nenek juga ikut?” tanyaku.
“Ah, amal Nenek masih bolong-bolong.
Tapi nanti kalau biayanya cukup mungkin Nenek juga ikut,” jawab beliau.
Aku mendesah. Mengingat kembali
keadaan orang tuaku yang membaik sepulangnya dari haji. Ibadah mereka bertambah
giat, dan yang pasti mereka tidak perlu lagi jadi buruh karena aku dan adikku
sudah bisa menggantikan Bapak sebagai tulang punggung keluarga. Namun,
perubahan keadaan yang mendadak itu disalahartikan oleh kebanyakan tetangga.
Ada yang bilang itu cuma kedok, pura-pura, bahkan ada yang bilang kalau kami
melakukan pesugihan. Hegh....orang kecil memang selalu jadi sasaran.
“Ada apa, San? Wajah ente kusut
begitu?” tanya Hambali. Kuceritakan saja permintaan Nek Kartini. Syukur
alhamdulillah dia bersedia membantu.
Akhirnya kakekku itu jadi berangkat
haji sendirian. Istrinya tidak jadi ikut karena dilarang anak-anaknya. Dan
tentu saja, makin banyak wajah iri yang muncul. Perbincangan tentang haji pun
kembali jadi trending topic, dan tweet yang jadi favorit adalah dari Bu
Sani. Apalagi kudengar beliau sudah punya tabungan dan siap berangkat haji
tahun depan. Dan kalau telinga dan mulut banyak terkumpul padanya, muncul sudah
fatwa-fatwa darinya yang bahkan tidak ada di dalam Al-Quran, Hadits, ataupun
Ijtihad para alim ulama.
Namun, perbincangan haji itu mulai
meredup lagi ketika kakekku pulang namanya saja. Menurut kawan-kawan
seperjalanannya, ketika rangkaian kegiatan haji berakhir beliau mengalami
serangan jantung dan tidak bisa terselamatkan. Beliau meninggal satu jam
kemudian.
“Waktu kami mau melempar jumrah
terakhir, Pak Thamrin bilang kalau beliau meninggal di sana beliau ingin
dimakamkan di sana. Kami kira beliau bercanda, tapi ternyata....,” ujar Pak
Priyanto, kawan seperjalanan kakek.
Sejak itu, perbincangan tentang haji
kian meredup dan akhirnya hilang sama sekali.
۞ ۞ ۞
Setahun kemudian, sehabis hari raya
Idul Fitri, entah dari mana asalnya, perbincangan tentang haji kembali hangat.
Ternyata berita bahwa Bu Sani hendak berangkat benar adanya. Mulut dan telinga
pun menyebar cepat layaknya jamur di musim hujan. Namun yang paling banyak
adalah jamur beracun, atau berita yang tidak enak didengar. Pasalnya meski
memang rumahnya bisa dibilang mewah, tapi Bu Sani itu tidak memiliki usaha apa
pun. Suaminya pun petani biasa. Anak laki satu-satunya juga sudah berkeluarga.
Hanya saja beliau adalah bendahara masjid kami. Dan....ah sudahlah tidak baik
membicarakan orang. Yang pasti, akhirnya beliau mengadakan acara syukuran yang
besar dan mewah melebihi pesta pernikahan anaknya dahulu.
Hingga suatu pagi ketika aku baru
pulang jogging kulihat Pak Joni, suami Bu Sani, tergopoh meninggalkan rumahnya.
“Lho, mau ke mana, Pak? Kelihatannya
kok terburu begitu? Bu Sani bukannya masih lama?” sapaku.
“Ya ampun, Santo....Bibimu kena
tipu. Dia salah agen biro haji. Memang dia berangkat ke Arab Saudi, tapi tidak
pernah haji. Dan petugas yang dulu mendampinginya hilang berikut barang-barang
yang dibawanya,” jawab Pak Joni cepat.
“Masya Allah. Benar, Pak?” tanyaku
tak percaya.
“Iya. Ya sudah, saya mau ngurus masalah ini dulu,” kata beliau
langsung berlalu.
Aku
terpaku di depan rumahnya. Seakan tersadar bahwa haji memang bukan semacam
tren, plesiran atau semacamnya. Haji adalah ibadah sakral. Ah, semoga dengan
ini tetangga-tetanggaku akan sadar tentang makna ibadah sebenarnya. Dan
telinga, mulut, dan cermin-cermin itu kuharap segera hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar