Jumat, 14 Februari 2014

Realisme Seorang Surealis

“Hegh......masih jam sepuluh,” gumamku tak jelas.

        Entah sudah berapa kali aku melihat jam di tanganku hanya untuk kecewa. Padahal terakhir kali aku melihat, jarum panjang masih bertengger di samping angka sebelas. Mengapa 5 menit rasanya lama sekali? Berita bagusnya,  kelas ini masih akan berlangsung 40 menit ke depan.

“Kondisi inilah yang memicu burung Finch untuk mengembangkan jenis paruh yang berbeda-beda,” kata-kata guru botak di depan kelas itu masih menguasai kelas.

      Huft.......burung Finch lagi, ujung-ujungnya pasti teori-tak-berdasar, Seleksi Alam. Membosankan. Kalau sudah begini, paling nyaman jika bersandar di kursi, tangan bersedekap, dan mata memantau ke penjuru kelas. Yah......posisi duduk di pojok kiri belakang memang menyenangkan.
         Untuk beberapa saat, mata, telinga, dan otakku masih nyambung. Tak lama kemudian mataku memang masih scanning, tapi telingaku offline, dan otakku browsing entah kemana. Sampai akhirnya sebutir kapur melayang ke meja di barisan belakang. Tapi bukan ke tempatku.

“Kael! Sedang apa kau?” tanya (atau lebih tepatnya bentak) guru botak itu.

       Sekali lagi kutegaskan, bukan kepadaku, namun pada anak laki-laki di seberangku, yang duduk di pojok kanan belakang.

“Kamu tidak mendengarkan bapak?” tanya guru itu mulai tak sabar.

         Si anak justru semakin diam, tak bergerak. Dia Kael, lengkapnya Mikael Hidaya. Nama aneh, seaneh orangnya. Setiap waktu hanya menggambar yang dilakukannya. Tak pernah kudengar ia bicara, selalu menunduk, dan misterius, seakan-akan gerhana selalu mengikutinya.
       Pak Johan, guru botak itu, kehilangan kesabaran. Ia berjalan ke arah Mikael, yang sekarang duduk tegak (dan kepala menunduk) salah tingkah dan ketakutan, tak tahu apa yang harus dikatakannya. Jangan harap teman-teman sekelas yang lain iba, mereka justru berusaha sekuat tenaga menahan tawa.

“Gambar apa ini, hah? Dijelaskan malah menggambar seenaknya sendiri,” ujar Pak Johan sambil meraih buku gambar Mikael.

       Tanpa basa-basi disobeknya buku itu tanpa peduli apakah buku itu berharga bagi Mikael atau tidak. Ingin sekali aku berdiri dan membela anak itu. Akan kubilang kalau dia sakit, atau aku yang menyuruhnya, atau apa saja asal pemandangan ini segera menghilang. Akhirnya doaku terkabul, tapi bukan karena campur tanganku. Bel tanda istirahat pertama berbunyi tepat sebelum Pak Johan mengucap kutuknya.

#                      #                      #

       Sementara anak-anak yang lain berhamburan ke arah kantin, Mikael berjalan menuju gerbang belakang. Aku dengan bodohnya mengikuti dia dari kejauhan hingga baru tersadar kalau di sana hanya ada sungai. Sial, jangan-jangan dia hendak bunuh diri. Ah, tidak mungkin. Buktinya dia membawa peralatan perangnya berupa perisai berbentuk buku gambar dan pedang tangan berbentuk pensil.

        “Hai! Boleh bergabung?” sapaku seraya duduk di sampingnya menghadap ke arah sungai. Entah karena terlalu asyik dengan dunianya atau memang budeg, dia sama sekali tak meresponku. Whatever, aku hanya ingin kenal dan dekat dengannya.

           “Umm....Aku Arya. Kamu Mikail, kan? Maaf, nggak apa-apa kan kalau kupanggil Mikail?” tanyaku sambil menyodorkan tangan ke depan mukanya.

Dia hanya bergeser tempat duduk. Lalu dengan muka tetap menunduk dan tangan terus bekerja, akhirnya ia bersuara.

            “Di sekolah ini, hanya ada dua jenis orang yang terkenal, yaitu orang aneh misterius yang dibenci dan dihina, dan orang jenius kharismatik yang dipuja dan dicinta,” ujarnya kemudian, “jadi siapapun pasti tahu nama mereka tanpa perlu berkenalan.”

            “Yeah, but they just know our name, not our story,” sahutku sedikit jengkel, “lagian kupikir kamu hanya peduli dengan duniamu, ide-idemu, dan gambar-gambarmu. Jadi nama teman sekelaspun kukira kamu tak tahu,” Ia hanya mengangkat bahu. Lima menit kemudian hanya suara aliran sungai yang terdengar.

       Aku berniat bermain melempar batu saat ia menoleh dan memandangku dengan tatapan aneh. Kuterjemahkan sebagai, “mengapa kamu tetap di sini?

            “Well, Kamu pernah nggak nonton film atau membaca cerita dimana ada tokoh yang aneh, freak, misterius, dianggap abnormal oleh sekitar, atau istilah apa pun itu, yang pasti si tokoh ini tidak mengikuti aturan umum? Namun ternyata dialah kunci utama. Entah karena di tiba-tiba mendapatkan kekuatan super, atau emang dari sononya dia udah punya kekuatan itu. Atau juga ternyata dia agen rahasia, atau paling parah dia kena kutukan yang akhirnya berakhir buruk, seperti dia membunuh teman-temannya, atau dia bahkan membunuh masa depannya sendiri. Semua karena satu hal, bukan? Yakni keberadaannya tidak dianggap dan tidak ada yang dipercayainya?”

    Aku berhenti sejenak untuk melihat ekspresinya seperti apa. Ternyata dia masih menikmati tarian jemarinya.

            “Atau yang lebih manusiawi, di masa mendatang ternyata dia mencapai keberhasilan tertinggi di antara teman-temannya. Hingga akhirnya orang-orang yang dulu menghina dirinya berbalik memujanya. Tapi karena dia sudah tahu siapa mereka, dia menjadi orang yang skeptis dan tidak mempercayai siapapun.
Jadi alasanku di sini adalah pertama, aku tidak ingin menjadi termasuk dalam golongan yang memuja setelah ada yang sukses, kedua aku tidak ingin seseorang yang sebenarnya baik dan hebat tidak menemukan keberadaannya, dan ketiga I just wanna be your friend,” kataku dengan cepat.

            “Sayang sekali, aku tak berminat menjalin hubungan dengan siapa pun. Entah itu sebagai teman, entah itu sebagai partner, entah itu sebagai tempat untuk berbagi cerita. Sudah cukup dengan teorimu itu, silahkan kamu kembali ke sekolah dan jadilah murid teladan yang baik, okay? Jangan melawan arus dengan menjadi teman orang aneh sepertiku,” jawabnya dengan kepala tetap tertunduk di atasa kertas gambar.

         Sialan ini anak, didekati malah ngusir. Tapi terserah, aku hanya ingin memeperbaiki ketimpangan yang terjadi di sini.

            “Harus kukatakan sejujurnya, teladan yang dimaksud di sini adalah teladan menurut sistem yang ada di sekolah ini. Di luar sekolah tentu akan berbeda lagi. Selain itu, mengikuti sistem itu lama-lama membosankan juga. Jadi perlu lah keluar dari sistem sejenak dan menikmati hidup sebagai manusia, sebagai hamba Tuhan Yang Mahakuasa. Hehehe......religius, ya? But, that’s really me. Asal kamu tahu, banyak hal yang kusembunyikan tentang diriku yang orang-orang tak tahu. Mereka hanya tahu luarku saja. Mereka hanya mengetahui atas apa yang kutampilkan, bukan aku yang sesungguhnya.”

            Ia berhenti sejenak, lalu memandangku.

            “Bukannya itu sama saja berbohong? Itu sama artinya menipu, tak menunjukkan siapa dirimu. Kalau aku, maaf saja. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri,” ujarnya sambil tersenyum sinis.

          “Tapi itulah yang mereka inginkan, bukan? Mereka tidak sepenuhnya ingin tahu mengenai diri kita. Mereka hanya ingin tahu sisi kita yang bisa mereka manfaatkan. Jadi aku memberikan apa yang mereka inginkan. Mereka boleh memiliki aku, boleh mengenalku, tapi tidak dengan diriku. Alright?” Ia kembali tak merespon.

            “Kamu, atau siapa pun boleh menganggapku penipu atau si muka dua. Kuakui memang begitu. Tapi kita, manusia sebagai makhluk sosial tentu tak bisa hidup sendiri bukan? Kita harus hidup bersama orang lain, menghargai mereka, menghormati mereka, berbuat baik pada mereka. Meskipun kita tak mendapatkan hal yang sama dari mereka. But, that’s life. You know? Dan karena kebanyakan orang hanya peduli dengan ambisi mereka, jadi adil dong kalau aku hanya memperkenalkan diri sebatas apa yang mereka butuhkan? Dan menyimpan milikku yang paling penting untukku sendiri dan mungkin untuk orang spesial seperti orang tua atau sahabat,” lanjutku. Ia mengangguk-angguk. Yes, berhasil!

            “Sayangnya aku tak memiliki sesuatu spesial yang seperti itu,” katanya kemudian. Aku menatapnya tak percaya, ia menoleh, “ya, sayangnya aku tak lagi memiliki orang tua dan sampai saat ini aku masih belum kenal dengan sesorang yang kupercayai sebagai sahabat.” Aku kaget. Sampai sekarang tidak ada yang tahu kalau anak ini yatim piatu. Beberapa saat kemudian aku tersenyum, lalu berdiri.

            “Tentang sahabat, katamu tadi ‘belum’ bukan? Kalau begitu aku akan menjadi yang pertama. Entah kamu mau bilang apa, yang pasti aku akan ada di sampingmu, tak peduli kamu mau atau tidak. Well, see you at class!” ujarku seraya berlari kembali ke sekolah. Langkah pertama berhasil. Akhirnya paling tidak aku bisa memperbaiki sesuatu di sini.

#                                  #                                  #

Hari berikutnya, aku tiba di tempat yang kemarin lebih dulu darinya. Ia tiba tanpa sapa dan kata-kata. Ia hanya datang, duduk dan menggambar. Sedangkan aku, aku mengoceh sampai berbusa-busa. Hari berikutnya lagi sama saja. Ia menggambar dan aku berkoar tentang ide-ideku, tentang umpatan-umpatanku mengenai sistem di dunia ini, tentang segalanya dalam otakku. Sesekali ia menyahut hanya untuk memperlihatkan bahwa ia peduli dan mendengar ceritaku. Tapi lama-lama akhirnya dia cair juga. Kadang dia juga tertawa, kadang memberi masukan, kadang juga ia ikut mengumpat. Hanya saja, dia sama sekali belum bercerita tentang dirinya.

“Mikail, jujur ya? Kamu tuh rese lho sebenarnya,” kataku suatu ketika.

“Maksudmu?” tanyanya seraya menghentikan aktivitas menggambarnya.

“Ya rese, atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sialan. Mengapa? Karena di sini hanya aku yang menceritakan kehidupanku. Aku menceritakan masa laluku, masa depanku, semua tentang diriku. Lalu kamu? Tak menceritakan apa pun tentang dirimu.”

Ia menghela napas, “cerita belum tentu harus melalui kata-kata bukan?” katanya kemudian, “maksudku, apa kamu tahu apa yang aku gambar?” tanyanya. Aku hanya menggeleng, karena memang selama ini aku tak terlalu memperhatikan gambarannya.

“Aku menggambar apa yang ada di pikiranku, kau tahu? Aku melukis apa yang aku lihat, apa yang kudengar, apa yang kulakukan, apa yang kurasakan, dan apapun yang kupikirkan. Jadi lukisan inilah ceritaku,” ujarnya lagi. Aku menggeleng-geleng lagi, tapi kali ini artinya antara kagum dan tak percaya.

“Lalu, aliran apa yang kamu anut? Maksudku, yang aku tahu dalam seni lukis ada banyak aliran bukan? Seperti surealisme, realisme, atau isme-isme yang lain. Kamu apa?”

“Entahlah. Aku hanya melukis. Kadang ya......hanya sketsa, siluet, abstrak, garis-garis nggak jelas. Apa pun yang ada di otakku ya kulukis itu,” jawabnya sambil tersenyum.

You’re really a maestro, Man! Lalu kapan aku bisa melihat ceritamu itu?” tanyaku sambil membuat kode tanda petik saat bilang cerita.

“Entahlah, aku masih belum bisa menujukkannya pada siapapun. Belum selesai juga. Kamu tahu, bukan? Di sini tidak ada tempat bagi pelukis maniak seperti aku. Bukan hanya di sekolah ini, di dunia pun pelukis dipandang berharga hanya oleh sebagian orang tertentu saja. Tak ada penghasilan bagi pelukis, apalagi pelukis amatiran seperti aku. Selain itu, di sekolah ini yang dibutuhkan hanya murid yang taat pada sistem, dan aku bukan salah satunya. Berulang kali aku berusaha mengikuti sistem yang ada. Tapi berulang kali pula aku gagal,” jawabnya dengan pandangan menerawang. Kami terdiam untuk beberapa saat.

“Hei! Siapa juga yang peduli pada sistem di sekolah ini? Sistem di sini hanya diciptakan oleh manusia, kan? Jadi, pasti ada kesalahan di beberapa sisi dan kadang tidak tepat digunakan pada berbagai kondisi. Terutama kondisimu. Yang kamu butuhkan bukan pengakuan berdasar nilai raport, tapi kreativitasmu, ingat? Selain itu, jangan halangi imajinasi dan kreativitasmu dihambat oleh sistem semu seperti di sekolah ini,” ujarku berapi-api, “aku pun sebenarnya juga sudah muak dengan sistem yang ada. Aku hanya menunggu kesempatan untuk mengembangkan sayapku. Dan sekarang kamu lah kesempatan itu. Ingat, aku akan selalu bersamamu,” lanjutku tak kalah bersemangat seraya menepuk pundaknya.

Ia tersenyum. Lega. Bisa kulihat bayangan gerhana sudah hilang dari air mukanya. Aku pun tersenyum. Syukurlah, harapanku berhasil.

#                                  #                                  #
“Mik! Ada masalah apa, sih? Dengan melihatmu rasanya seperti sedang terjadi gerhana matahari, tahu nggak?”  sapaku begitu aku sampai di sungai belakang sekolah seperti biasanya. Mikael (Mikail) sudah duduk di tepi sungai dengan kepala menunduk memandangi sebuah benda di tangannya. Pasti buku gambarnya.

“Hei! Ada apa sih?” tanyaku lagi begitu aku sudah duduk di sampingnya seraya kutepuk pundaknya.
Ia menggeleng. Kulihat ia seperti berusaha keras menahan tangis. Pundaknya naik turun, meski tak ada suara sesenggukan yang terdengar. Anak ini, kalau ada masalah pasti disimpan sendiri. Seperti ini deh jadinya.

“Ini pasti ada kaitannya dengan panggilan kepala sekolah tadi pagi, bukan? Bagaimana? Kamu mau dikeluarkan karena nilai mu buruk-buruk? Bulls**t! Tidak akan ada nilai buruk kalau tidak ada sistem yang buruk dan berat sebelah, kamu tahu. Tak usah lah kamu pedulikan apa kata mereka. Sekali lagi, sistem mereka hanyalah ciptaan manusia, tidak ada kewajiban untuk mengikutinya. Kalau sistem di sini tak lagi bisa diikuti, lebih baik kita keluar saja dan kita buat sistem baru yang lebih baik.”

“STOP!” potong Mikail sedikit berteriak, “bisa nggak sih kamu berhenti membual tentang sistem idealmu itu. Aku sudah lelah, aku hanya ingin normal. Sudah kukatakan bukan? Berulang kali aku mengikuti sistem, berulang kali itu pula aku gagal. Dan saat ini aku tak ingin kegagalan itu terulang kembali. Kalau kamu memang tidak suka, mengapa kamu tidak keluar sendiri?”

Kekagetan karena teriakan Mikail tadi belum reda sekarang aku lebih kaget lagi mendengar perkataannya tadi. Sialan nih anak. Coba, siapa yang peduli dengannya ketika yang lain justru menghinanya. Aku baru saja hendak menyemprotkan rasa marahku ketika tiba-tiba ia menyerahkan suatu barang. Buku sketsanya.
“Maafkan aku, Ar. Aku tidak bisa lagi bermain-main dan berbuat seenaknya. Ada hal yang tak bisa kuceritakan padamu dan kuharap kamu menghargainya. Ini adalah ceritaku yang dulu kujanjikan. Kuharap kamu puas dan bisa meninggalkanku sendiri saat ini dan seterusnya,” lanjutnya seraya menyerahkan buku sketsanya.

Kuraih buku itu dengan cepat lalu kulempar ke sungai.

“Persetan dengan ceritamu. Kamu tahu apa yang kuinginkan? Aku hanya ingin persahabatan kita, Mik. Apa hanya karena kau harus mengikuti sistem lalu persahabatan kita harus pecah?” tanyaku marah.

“Kael, disini kamu rupanya?” ujar seseorang. Aku dan Mikail menoleh bersamaan. Seorang pria paruh baya berdiri di tengah pintu gerbang belakang itu.

Mikail berjalan menghampiri pria itu dengan wajah sedikit ketakutan.

“Kamu berbicara dengan siapa?” tanya pria itu. Sialan ini orang, apa keberadaanku di sini tak dianggapnya? Mikail sendiri tiba-tiba langsung berhenti mendengar pertanyaan pria tak dikenal itu. Tak lama kemudian kudengar ia menangis lagi. Kali ini ia benar-benar menangis rupanya. Sedangkan aku di sini, hanya berdiri tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Mengapa orang ini tak melihatku? Padahal aku berdiri tepat di belakang Mikail? Atau memang dia tidak mengakuiku?

“Aku....aku....aku tak bisa menahannya, Bi. Dia....dialah satu-satunya yang mengertiku.....,” ujar Mikail sambil tersedu. Apa yang dimaksudkannya itu aku?

Pria itu memeluk Mikail.

Okay....okay......semuanya akan baik-baik saja. Jika kamu mau membuka diri pada yang lain, semuanya juga akan mengerti keadaanmu, Kael. Dan juga akan mencoba mencintaimu. Seperti Abi saat ini. Dan kamu tak perlu memiliki teman khayalan”

           Tak lama kemudian mereka pergi, meninggalkanku di sini dengan penuh tanda tanya. Apa maksudnya semua ini. Mengapa keberadaanku tidak diketahui di sini?

            “Siapapun atau kejadian apapun yang tidak dilihat orang lain, dan hanya kamu saja yang melihatnya itu berarti tidak nyata, okay? Itu hanya efek penyakitmu ini. Tapi jangan khawatir, mulai saat ini Abi akan membantumu membedakan kenyataan dan imajinasimu. Kamu setuju?” Mikail mengangguk.

            Jadi? Apakah aku ini tidak nyata? Dan orang aneh itu justru yang nyata?

            "Mikail, tak peduli apa pun yang terjadi, entah kamu kengakuiku nyata atau tidak, aku akan selalu menemuimu! Sampai kamu mau mengakuiku dan berbicara denganku!" teriakku. Kulihat, Mikail semakuin tergugu.
#                                  #                                  #

           “Tolong, Pak. Dia harus berada di lingkungan sosial untuk membantu penyembuhannya,” pinta wanita berkerudung itu. Aku menghela nafas. Kupandangi remaja tanggung yang duduk di sampingnya. Selalu saja menunduk. Anak yang baik dan unik sesungguhnya, hanya saja keadaan psikisnya tidak memungkinkan untuk sekolah di sini.

           “Tapi, Pak, Bu, sekolah ini tidak bisa menerima anak berkebutuhan khusus seperti dia. Seharusnya dia sekolah di tempat yang khusus untuk anak-anak seperti dia. Kalau tidak, ya silahkan home schooling,” tolakku berusaha sebijak mungkin.

            “Bapak tahu sendiri bukan? Sekolah seperti itu tidak ada di kota ini. Dan kami hanya pengasuh panti asuhan yang menggantungkan biaya dari donatur. Mana mungkin kami bisa membiayai sistem sekolah seperti itu?” kali ini pria paruh baya yang duduk di samping anak itu yang bicara. Mereka suami istri pasti.

         “Mana mungkin sistem di sekolah ini bisa menangani kondisi anak ini? Sistem kami sangat ketat. Kalaupun dia sekolah di sini saya tidak yakin dia akan lulus.”

            “Tolong sekali, Pak. Tidak apa-apa jika dia tidak lulus, yang penting ia mendapat ilmu seperti halnya orang lain. Sebenarnya yang paling penting bagi kami adalah dia bisa berinteraksi dengan yang lain, paling tidak hal itu bisa membantunya untuk membedakan kenyataan dan ilusinya. Sementara itu kami juga akan mengurus terapi untuk schizophrenia yang dideritanya itu,” sahut pria itu.

           Ya Allah! Jadi schizophrenia? Kupikir dia autis. Kupandangi lagi anak itu. Dan kulihat sosok ayahku di sana. Seandainya dulu ada orang-orang seperti bapak dan ibu ini di samping ayahku, pasti saat ini beliau masih hidup. Aku tersenyum.

            “Mengapa Bapak dan Ibu tidak mengatakannya sejak awal kalau dia mengidap schizophrenia?”

           “Kami pikir Bapak sudah tahu. Di formulir pendaftaran dahulu kami menuliskannya,” jawab pria yang kulupa namanya tadi.

            “Maaf....maaf....sepertinya saya yang salah. Kalau boleh saya bercerita sedikit, ayah saya dulu juga menderita schizophrenia, sayangnya tidak ada yang mengerti keadaannya, tidak seperti Bapak dan Ibu saat ini. Dia dianggap gila dan diasingkan oleh keluarga kami. Dan akhirnya beliau justru bunuh diri. Karena itu, mungkin dengan membantu anak ini melewati masa-masa sulitnya ini saya bisa sedikit menghapus rasa bersalah saya,” ujarku sambil berusaha tersenyum.

            Kulihat mereka berdua akhirnya tersenyum.

            “Sekarang Bapak dan Ibu bisa membawa dia pulang. Saya akan menyampaikan hal ini pada guru-guru. Semoga mereka mau mengerti. Toh, kalaupun mereka enggan menerimanya saya sebagai kepala sekolah bisa mengaturnya. Sekali-kali memanfaatkan posisi untuk kebaikan tidak apa-apa, kan?” ujarku sedikit mencairkan suasana.

            Merekapun berdiri. Kuantar mereka sampai di pintu.

           “Terima kasih, Pak,” kata pria itu seraya menjabat tanganku.

       “Saya yang seharusnya berterima kasih. Saya akhirnya bisa melakukan hal yang seharusnya saya lakukan pada ayah saya dulu,” sahutku.

       “Yang kuat ya, Nak. Jangan khawatir, Bapak akan ikut menjagamu,” ujarku sambil menjabat tangan dan merangkul pundak anak ini. Ia berusaha tersenyum.

      Akhirnya mereka pun pergi. Kupandangi mereka, tapi pikiranku justru menerawang saat ayahku diasingkan di gudang belakang. Ia berteriak-teriak, menganggap kami semua kaki tangan penjajah yang ikut membunuhnya. Ayahku sellau menganggap dirinya sebagai komandan perang. Seharusnya saat itu aku tidak membencinya, seharusnya saat itu aku tidak malu memiliki ayah seperti dia, seharusnya saat itu aku mencintainya.

        Sungguh, dunia yang ada di kepala manusia benar-benar rumit dan berbelit. Kemarin pamanku divonis alzheimer, sekarang aku bertemu dengan penderita schizophrenia. Sepertinya mulai saat ini aku harus banyak-banyak bersyukur. Kepribadian ganda yang kuderita ini sepertinya masih lebih baik dibandingkan kondisi mereka. Mengendalikan sembilan orang yang keras kepala dalam satu tubuh dan menjaganya tetap terfusi memang sulit, tapi sepertinya lebih sulit dan menakutkan apabila memiliki memori yang indah namun ternyata itu hanya ilusi, bukan kenyataan. Yah, persamaannya kami sama-sama menjaga realita dalam kehidupan kami yang surealis.

Negeri Hitam Putih

Ada sebuah negeri, negeri hitam putih.
       Dimana cahaya tak sanggup membias
       Dimana jembatan bidadari,
       tak mampu terwujud di ujung rintik hujan
       Dimana aurora matahari,
       hanya ‘kan jadi latar langit hitam yang menyesatkan
       dan bumi putih yang menyilaukan
Di negeri itu hanya ada hitam dan putih.
       yang berdiri di atas realita,
       Realita papan catur yang dipenuhi buah catur raja
       yang menghalangi utopia ataupun khayal
       yang bahkan mimpi pun tak boleh berwarna
       harus hanya hitam dan putih
Dan aku hidup di sana.
       terbuang di sudut negeri bersama para penuntut cahaya
       Sebab, kata catur raja,
       “hitam adalah (mungkin) salah....
       dan putih adalah (tidak selalu) benar....
       dan kami benci catur raja.
Di negeri ini.
       Jika kau hitam, maka hitamlah sudah,
       kau salah....begitupun hidupmu
       Tak peduli seberapa luas warna hitammu
       Tak peduli mengapa kau hitam,
       meski ternyata itu karena buah catur raja-buah catur raja
Namun di negeri ini pula.
       Bila kau putih, tak selamanya kau ‘kan terus putih,
       dan benar....
       Sebab tak ada yang tahu seberapa lama
       bidak-bidak catur mengacuhkan warna putihmu
       Dan tidak ada yang tahu pasti
       Apakah putihmu karena diputihkan?
       ataupun putihmu ‘kan segera dihitamkan
       oleh papan catur itu sendiri?
Dan aku jengah, aku lelah dengan itu semua.
       Aku terbuang di sudut negeri ini,
       bersama para penuntut cahaya
       Sebab tak pernah ada pilihan
       Bila tidak putih, pasti hitam
       bahkan tidak ada tabir abu-abu di sini
Negeriku ini tetaplah negeri hitam putih.
       bagai papan catur,
       dengan kotak hitam putih yang saling berseling
       yang saling menindih.
       Tak peduli seberapa besar,
       tak peduli seberapa banyak yang ingin mewarnainya
Sebab tak ada warna lain di negeri ini.
Sebab cahaya pun enggan membias.
Lalu negeri ini akan selalu hitam putih.
       Dimana hukum pun adalah bidak-bidak catur,
       yang dipermainkan oleh tangan-tangan hitam putih
       Dimana aturan hanya ‘kan berlaku,
       saat hitam menjejak di atas putih
       Lagi-lagi, tak pernah peduli
       dari mana hitam itu, bagaimana putih itu
Jadi, masih tertarikkah kau dengan negeri itu?
Masihkan ingin kau hidup di sana?
       ketika hitam masih bisa diputihkan
       dan putih pun dihitamkan
Atau kau tak suka?
Tutup saja papan catur hitam putih itu!
Gantikan saja dengan papan monopoli yang penuh warna!
       termasuk warna kematian dan warna keputihan
Sebab negeri ini negeri hitam putih.
       meski papan hitam putih hancur sekalipun,
       namun hitam akan jadi bayangan
       dan putih, adalah tipuan bayangan
Sebab cahaya tak mampu dan tak mau membias.
       di negeri ini
       di negeriku ini
       di negeri hitam putihku ini
Tapi di sudut buangan ini.
       Aku, dan para penuntut cahaya
Tak mampu dan tak mau juga berhenti
       yakin, percaya dan berharap
Akan ada pelangi penuh warna
Sebab di tangan kami,
       tergenggam berlian Tuhan
Yang ‘kan membiaskan cahaya
Hingga terlahirkan warna-warna, yang menghiasi
       dan mendampingi hitam putih negeriku ini
Agar tak ada lagi Negeri Hitam Putih

       seperti negeri ini.

Haji Trend, Haji Style

Seandainya ada kejuaraan desa unik dan langka mungkin desaku akan menduduki puncak klasemen. Atau kalau ada suaka untuk desa aneh yang mulai punah, mungkin desaku yang akan menjadi penghuni pertama. Tahu mengapa? Karena desaku memiliki telinga dan mulut di mana-mana. Di gardu poskamling, di rumah Pak Lurah, di tempat jagong*, apa lagi di tempat pengajian, yang biasanya juga jadi tempat arisan, kedua alat indera manusia itu bertambah begitu cepat seperti layaknya amoeba berkembang biak. Selain telinga dan mulut yang tersebar di mana-mana, keunikan di desaku adalah orang-orangnya yang memiliki cermin. Bukan. Bukan cermin untuk berhias, tapi cermin untuk meniru orang lain, untuk ikut-ikutan. Aneh dan unik bukan? Tapi buruk untuk dilestarikan.

“Santo, kapan pulang? Begitu, ya? Sudah sukses di kota, lupa sama kampung halaman,” sapa Bu Sani, tetanggaku yang paling vokal dan hobi interogasi, ketika aku pulang dari kantor kecamatan dan melewati rumahnya.

“Sudah seminggu yang lalu, Bu. Tapi ya, begini, bolak-balik ngurus berkas ke kecamatan,” sahutku dengan menyunggingkan senyum semanis mungkin.

“Oh, jadi benar? Kalau kamu mau naik haji?” lanjut beliau.

“Ah! Ndak, Bu. Siapa bilang? Ini berkas pendirian usaha milik teman. Dia minta bantuan saya,” jawabku sesantai mungkin, meski dadaku berdegup kencang.

“Naik haji juga ndak apa-apa, kok,” sindir beliau. Aku tersenyum semanis kembang gula lagi.

“Ibu ini kok suka bercanda, ya? Uang dari mana, Bu? Usaha juga baru dimulai.”

“Siapa tahu? Tapi syukur kalau tidak. Uangnya lebih baik dikasihkan ke Mak, Bapakmu buat bangun rumah bambu itu. Atau untuk nikah nanti,” kata beliau dengan diselipi sindiran yang amat halus.

“Haji tuh hanya untuk orang kaya, ya kan?” lanjut beliau diringi tawa kecil. Aku tersenyum kecut. Hinaan yang benar-benar halus.

“He he he, iya. Ya sudah, saya permisi dulu, Bu,” pintaku undur diri. Makin lama tak kuat aku di sini. Entah karena memang tidak ada lagi berita yang bisa dikorek dariku, atau karena tidak ada lagi hinaan halus yang bisa dilontarkan lagi, atau mungkin karena sudah bosan, ibu itu mempersilahkan.

Huft....untung saja aku masih sanggup berdalih dan menahan diri. Sebenarnya berita haji itu tak sepenuhnya salah. Hanya saja yang naik haji adalah Mak dan Bapakku dengan uang yang kukumpulkan dari honor mengirim tulisan di media sana-sini. Awalnya mereka tidak setuju. Ya itu tadi, untuk uang nikahku saja. Apalagi umurku yang sudah seumuran Rasulullah ketika beliau melamar Siti Khadijah. Namun berkat bantuan dari keempat saudaraku, Mak dan Bapakku pun tak lagi punya alasan menolak. Meskipun Mak masih sering sangsi.

“Ya Allah, Le, Le. Mak mu ini sudah tua, bagaimana bisa naik haji? Mak juga belum siap. Shalat saja masih bolong-bolong. Mak mu ini lho ndak bisa ngaji juga. Nanti kalau di sana hilang dan ndak bisa pulang gimana?”

“Ya malah bagus kan, Mak? Malah dekat dengan kota lahir Nabi. Nanti kami jadi juga punya alasan untuk sering-sering ke Arab Saudi,” canda adik laki-lakiku. Biasanya setelah itu dia dan Mak berdebat kusir sampai Bapak ikut nimbrung.

Bukannya aku ndak mau jujur, tapi aku masih trauma dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. Sekitar 10 tahun yang lalu ada ustadz yang berdakwah di desaku. Kedatangan beliau menciptakan tren aqiqah. Hampir setiap orang melakukan aqiqah untuk anak-anaknya. Tahu, kan, kalau orang-orang di desaku punya cermin? Tapi suatu ketika ustadz itu difitnah seseorang. Beliau pun pergi, termasuk tren aqiqah. Karena itu lah aku masih belum siap jika haji ini juga menjadi tren nantinya.

۞                                ۞                                ۞

            Akhirnya, dengan sangat terpaksa, aku membiarkan berita haji itu tersebar. Ya, berita bahwa akulah yang akan naik haji, bukan kedua orang tuaku. Entah siapa yang menyebarkannya, bahkan guru-guru SMP ku sampai datang ke rumah yang masih berdinding bambu ini. Aku dan adikku tersenyum saat melihat ekspresi orang-orang ketika kuundang untuk syukuran keberangkatan haji kedua orang tuaku. Perkataan “oh...” seakan menjadi ringtone saat syukuran berlangsung.

         “Mas, kecele semua ya, mereka? Untung Mak dan Bapak sudah kita minta untuk diam saja. Eh, kayaknya banyak muncul ekspresi ngiri dan nggak percaya deh, Mas” bisik adikku.

             “Sudah. Biar saja. Yang penting kita sekarang bisa menghajikan Mak, Bapak.”

            “Kita? Loe aja kali, gue nggak,” lanjutnya dan langsung kujewer telinganya.

            Esoknya Mak dan Bapak pun berangkat diiringi ucapan salam dari para tetangga dan kerabat. Tapi ucapan salam itu masih kalah dengan permintaan titipan dan oleh-oleh haji dari mereka. Sejauh yang kudengar, tak ada yang minta nitip do’a. Benar-benar deh tetangga-tetanggaku itu. Memangnya haji itu semacam plesiran? Maklum saja, deh. Ziarah wali saja yang dibicarakan oleh-oleh.

۞                                ۞                                ۞

           Sebulan setelah itu, hal yang kukhawatirkan terjadi. Pembicaraan orang-orang adalah haji dan umroh. Beberapa dari mereka sudah ada yang mulai menceritakan rencana-rencananya. Orang-orang kaya baru mulai sibuk merencanakan umroh. Dan yang menjadi sasaran wawancara adalah aku. Aku jadi sering ditanyai ini itu, dan aku hanya bisa menjawab sebisanya. Karena jujur, aku saja dulu juga minta bantuan temanku untuk mengurus keberangkatan haji orang tuaku. Jika sudah lelah ditanyai yang bisa kulakukan adalah memberi nomor kontak temanku itu.

           “To! Enak banget ya Ente menyebarluaskan nomor orang?” protes Hambali lewat telepon.

         “Afwan, Akh. Habis Ane ditanyai tetangga dan banyak yang ndak Ane tahu,” jawabku dengan nada semelas mungkin.

          “Ya, tapi Ane akhirnya juga kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.”

          “Afwan banget, deh. Ente pernah kuceritakan tentang orang-orang di desaku, bukan? Ente baru segitu sudah kewalahan, apalagi Ane?” lanjutku. Hambali hanya tertawa.

       Tapi sekeras dan seramai apa pun pembicaran orang-orang di desaku, tidak pernah ada yang berangkat. Bahkan setengah tahun setelah kepulangan orang tuaku, yang ramai hanyalah rencana-rencana. Hingga suatu hari ketika aku baru pulang diajak umroh Hambali, seseorang menelponku.

            “Santo, ini Nek Kartini. Kamu bisa bantu Nenek tidak?,” tanya orang di seberang sana. Nek Kartini adalah istri dari paman ibuku.

            “Iya, Nek. Silahkan.”

            “Nenek bingung, San. Kakekmu itu ingin naik haji. Bahkan tanah ladang sudah dijual semua. Nenek ndak tahu harus gimana,” keluh beliau.

            “Lha paman-paman dan bibi bagaimana, Nek?” tanyaku iba. Kakekku itu sudah tua, berjalan pun sulit. Beliau sudah tiga kali terkena serangan jantung, tekanan darahnya tinggi.

            “Hegh....sudah bosan mereka menasihati kakekmu,” beliau diam sebentar, “jadi kira-kira apakah kamu bisa membantu menguruskan haji kakekmu?”

            “Nenek juga ikut?” tanyaku.

            “Ah, amal Nenek masih bolong-bolong. Tapi nanti kalau biayanya cukup mungkin Nenek juga ikut,” jawab beliau.

            Aku mendesah. Mengingat kembali keadaan orang tuaku yang membaik sepulangnya dari haji. Ibadah mereka bertambah giat, dan yang pasti mereka tidak perlu lagi jadi buruh karena aku dan adikku sudah bisa menggantikan Bapak sebagai tulang punggung keluarga. Namun, perubahan keadaan yang mendadak itu disalahartikan oleh kebanyakan tetangga. Ada yang bilang itu cuma kedok, pura-pura, bahkan ada yang bilang kalau kami melakukan pesugihan. Hegh....orang kecil memang selalu jadi sasaran.

            “Ada apa, San? Wajah ente kusut begitu?” tanya Hambali. Kuceritakan saja permintaan Nek Kartini. Syukur alhamdulillah dia bersedia membantu.

            Akhirnya kakekku itu jadi berangkat haji sendirian. Istrinya tidak jadi ikut karena dilarang anak-anaknya. Dan tentu saja, makin banyak wajah iri yang muncul. Perbincangan tentang haji pun kembali jadi trending topic, dan tweet yang jadi favorit adalah dari Bu Sani. Apalagi kudengar beliau sudah punya tabungan dan siap berangkat haji tahun depan. Dan kalau telinga dan mulut banyak terkumpul padanya, muncul sudah fatwa-fatwa darinya yang bahkan tidak ada di dalam Al-Quran, Hadits, ataupun Ijtihad para alim ulama.

            Namun, perbincangan haji itu mulai meredup lagi ketika kakekku pulang namanya saja. Menurut kawan-kawan seperjalanannya, ketika rangkaian kegiatan haji berakhir beliau mengalami serangan jantung dan tidak bisa terselamatkan. Beliau meninggal satu jam kemudian.

            “Waktu kami mau melempar jumrah terakhir, Pak Thamrin bilang kalau beliau meninggal di sana beliau ingin dimakamkan di sana. Kami kira beliau bercanda, tapi ternyata....,” ujar Pak Priyanto, kawan seperjalanan kakek.

            Sejak itu, perbincangan tentang haji kian meredup dan akhirnya hilang sama sekali.

۞                                ۞                                ۞

        Setahun kemudian, sehabis hari raya Idul Fitri, entah dari mana asalnya, perbincangan tentang haji kembali hangat. Ternyata berita bahwa Bu Sani hendak berangkat benar adanya. Mulut dan telinga pun menyebar cepat layaknya jamur di musim hujan. Namun yang paling banyak adalah jamur beracun, atau berita yang tidak enak didengar. Pasalnya meski memang rumahnya bisa dibilang mewah, tapi Bu Sani itu tidak memiliki usaha apa pun. Suaminya pun petani biasa. Anak laki satu-satunya juga sudah berkeluarga. Hanya saja beliau adalah bendahara masjid kami. Dan....ah sudahlah tidak baik membicarakan orang. Yang pasti, akhirnya beliau mengadakan acara syukuran yang besar dan mewah melebihi pesta pernikahan anaknya dahulu.

            Hingga suatu pagi ketika aku baru pulang jogging kulihat Pak Joni, suami Bu Sani, tergopoh meninggalkan rumahnya.

            “Lho, mau ke mana, Pak? Kelihatannya kok terburu begitu? Bu Sani bukannya masih lama?” sapaku.

            “Ya ampun, Santo....Bibimu kena tipu. Dia salah agen biro haji. Memang dia berangkat ke Arab Saudi, tapi tidak pernah haji. Dan petugas yang dulu mendampinginya hilang berikut barang-barang yang dibawanya,” jawab Pak Joni cepat.

            “Masya Allah. Benar, Pak?” tanyaku tak percaya.

            “Iya. Ya sudah, saya mau ngurus masalah ini dulu,” kata beliau langsung berlalu.

Aku terpaku di depan rumahnya. Seakan tersadar bahwa haji memang bukan semacam tren, plesiran atau semacamnya. Haji adalah ibadah sakral. Ah, semoga dengan ini tetangga-tetanggaku akan sadar tentang makna ibadah sebenarnya. Dan telinga, mulut, dan cermin-cermin itu kuharap segera hilang.