Senin, 31 Maret 2014

Makalah Otonomi Daerah

KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya kami diberi kesempatan untuk menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah dengan judul “Sistem Otonomi Daerah (OTODA) di Indonesia dan Peran Serta Masyarakat di Dalamnya” ini disusun sebagai tugas matakuliah kewarganegaraan.
            Selanjutnya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi civitas akademika yang hendak mengkaji tentang sistem otonomi daerah. Selain itu semoga makalah ini juga menjadi salah satu sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan menjadi lebih baik.
            Akhir kata, penyusun memohon maaf jika dalam penyusunan makalah ini terjadi kesalahan ejaan maupun isi. Penyusun menyadari makalah ini jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyusunan makalah yang lebih baik.



Penyusun


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I    PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penulisan
BAB II   TINJAUAN PUSTAKA
      A.    Pengertian Otonomi Daerah
B.     Otonomi Daerah (OTODA) di Indonesia
BAB III  PEMBAHASAN
A.    Kelebihan atau Manfaat Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia
B.     Kekurangan atau Kelemahan dari Adanya Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia
C.     Kendala yang Dihadapi dalam Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia
D.    Solusi untuk Mengatasi Kendala Penerapan Otonomi Daerah dan Peran Serta Masyarakat
BAB IV   PENUTUP
      A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR RUJUKAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Pada masa penjajahan, baik kolonial Belanda maupun Jepang, pemerintah daerah tidak dapat berbuat banyak selain melaksanakan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dengan kata lain, pemerintah daerah tidak mempunyai wewenang untuk menetapkan kebijakan bagi daerahnya sendiri. Bahkan pengawasan pun dilakukan melalui hirarki yang ketat dan terbagi dalam lima tingkat, mulai dari Gubernur Jenderal sampai Asisten Wedana (Camat).
Sistem yang bersifat sentral tersebut kemudian diterapkan di Indonesia sejak kemerdekaan pada tahun 1945 sampai era Orde Baru. Pada masa tersebut, terjadi ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat yang sangat tinggi, sehingga tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu terutama dalam hal pengelolaan pendapatan daerah. Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi tidak bisa cepat kembali stabil. Hal ini menunjukkan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada.
Setelah terjadi reformasi, sistem pemerintahan diganti dengan asas desentralisasi (otonomi) berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan  UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kemudian dilanjutkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Melalui kebijakan tersebut, pemerintah pusat memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola potensi yang dimiliki, sehingga prakarsa dan kreativitas daerah pun terpacu. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Hal ini dimaksudkan agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro strategis, serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari adanya kebijakan tersebut (Mahgriefie, 2010).
Seperti layaknya kebijakan-kebijakan lainnya, otonomi daerah tidak lepas dari kelemahan serta hambatan dalam pelaksanaannya. Kritik karena adanya kebijakan tersebut juga tidak sedikit, meski tidak dapat dipungkiri bahwa konsep desentralisasi memiliki banyak kelebihan dibanding konsep pemerintahan sentral. Oleh karena itu kebijakan otonomi daerah di Indonesia sangat penting untuk dikaji dan dipelajari demi meningkatkan pembangunan Indonesia yang lebih baik. 
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan kondisi yang telah disebutkan sebelumnya, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1.        Apa kelebihan atau manfaat dari penerapan kebijakan otonomi daerah di Indonesia?
2.        Apa saja kekurangan atau kerugian dari penerapan otonomi daerah?
3.        Apa kendala yang dihadapi dalam penerapan kebijakan otonomi daerah?
4.        Bagaimana solusi dan peran serta masyarakat yang bisa diterapkan?
C.     Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah “Sistem Otonomi Daerah (OTODA) di Indonesia dan Peran Serta Masyarakat di Dalamnya” ini adalah:
1.      Mengetahui kelebihan atau manfaat penerapan kebijakan otonomi daerah di Indonesia.
2.  Mengetahui kekurangan atau kerugian dari adanya penerapan kebijakan otonomi daerah di Indonesia.
3.      Mengetahui kendala atau hambatan yang terjadi selama pelaksanaan kebijakan otonomi daerah.
4.   Mengetahui solusi dan peran masyarakat yang bisa diterapkan untuk mendukung kesuksesan kebijakan otonomi daerah.


5.       
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.     Pengertian Otonomi Daerah
Desentralisasi dan otonomi daerah merupakan bentuk sistem penyerahan urusan pemerintahan dan pelimpahan wewenang kepada daerah yang berada dibawahnya. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Chalid, 2005). Dengan kata lain, pemerintah daerah diberi wewenang/kekuasaan untuk mengatur dan mengelola kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Menurut Undang-Undanng (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam  UU tersebut juga disebutkan  bahwa  desentralisasi  adalah penyerahan  wewenang  oleh  Pemerintah  Pusat kepada  Daerah  Otonom  dalam kerangka Negara Kesatuan Republik (Abe, 2002 dalam Ragawino, 2003). Selanjutnya Ragawino (2003) juga menyebutkan bahwa hakikat  dan  spirit  otonomi  daerah  sesuai  dengan  UU  No.22  Tahun  1999  dan No.25  Tahun  1999  adalah  distribusi  dan  pembangunan  kewenangan  berdasarkan  asas desentralisasi,  dekosentralisasi,  dan  perbantuan  pada  strata  pemerintahan  guna mendorong  prakarsa  lokal  dalam  membangun  kemandirian  daerah  dalam  wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ada dua alasan pokok, menurut Robert Rienow (1996) dalam Tangke (2009), dari kebijaksanaan membentuk pemerintahan di daerah, yaitu: (a) membangun kebiasaan agar rakyat memutuskan sendiri sebagian kepentingannya yang berkaitan langsung dengan rakyat; (b) memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan yang bermacam-macam untuk membuat aturan-aturan dan programnya sendiri.
Tangke (2009) juga menyebutkan bahwa manfaat Otonomi Daerah, menurut Shabbir Cheema dan Rondinelli (dalam Dadang Solihin, 2007), antara lain: perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen; memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat; perumusan kebijaksanaan dari pemerintah akan lebih realistik; desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya “penetrasi” yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite lokal, dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.
B.     Otonomi Daerah (OTODA) di Indonesia
Ragawino (2003) menyebutkan bahwa implementasi kebijakan otonomi secara efektif dilaksanakan di Indonesia sejak 1 Januari 2001, memberikan  proses pembelajaran berharga, terutama esensinya dalam kehidupan membangun demokrasi, kebersamaan, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman daerah dalam kesatuan melalui dorongan pemerintah untuk tumbuh dan berkembangnya prakarsa awal (daerah dan masyarakat) menuju kesejahteraan masyarakat. Prinsip dasar otonomi daerah secara konsepsional adalah: pendelegasian kewenangan (delegation of autority), pembagian pendapatan (income sharing), kekuasaan (dicreation), keanekaragaman dalam kesatuan (uniformity in unitry), kemandirian lokal, pengembangan kapasitas daerah (capacity building).
Sistem otonomi daerah di Indonesia sendiri muncul sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap konsep sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru namun tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah. Dasar hukum sistem Otonomi Daerah di Indonesi berpijak pada dasar perundang-undangan yang kuat (Permataku, 2012 dan Anurudin, 2012), antara lain:
1.    Undang Undang Dasar (UUD), yakni Pasal 18 ayat 1 sampai 7 Undang Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan MPR-RI, yakni Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
3.  Undang-Undang (UU), yakni UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. UU ini telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004.
4.  UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang telah diubah dengan UU No. 33 Tahun 2004.
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah (Munandar, 2013):
1.    Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
2.    Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
3.   Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
4.    Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
5.   Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
6.    Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
7.    Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut Mungkasa (2013) sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah terbentuk daerah otonom baru sebanyak 205 buah yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 Kota. Dengan perkataan lain terjadi peningkatan 64%dari jumlah daerah otonom tahun 1998 atau secara rata rata dalam satu tahun lahir 20 daerah otonom baru. Sehingga daerah otonom menjadi sebanyak 524 unit (propinsi, kabupaten, kota).
BAB III
PEMBAHASAN

A.     Kelebihan atau Manfaat Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia
Dari penjelasan sebelumnya telah diketahui bahwa kondisi Indonesia yang berbeda-beda di tiap daerah menjadi salah satu alasan mengapa sistem otonomi diterapkan. Selain itu, ada beberapa keuntungan dengan menerapkannya otonomi daerah, yakni :
1.        Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
2.        Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari pemerintah pusat untuk mengambil keputusan dalam menghadapi maslah tersebut.
3.        Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teretorial, dapat lebih mudah menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan khusus daerah.
4.   Dengan adanya  desentralisasi teritorial, daerah otonomi dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan di seluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih mudah untuk diadakan.
5.      Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat.
6.     Dari segi psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang lebih besar kepada daerah.
7.      Akan dapat memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang dilayani.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan adanya otonomi daerah para pelaksana tingkat daerah akan lebih mudah mengambil keputusan. Hal ini secara tidak langsung akan mendidik para pengambil keputusan pada tingkat bawah untuk bertanggung jawab atas keputusan yang diambil. Selain itu, dengan adanya otonomi daerah akan terbangun kesadaran publik bahwa mereka memiliki pemerintahan dan bukan pemerintahan yang memiliki masyarakat, karena rakyat merupakan konsep kebangsaan, yaitu kedaulatannya berada di tangan rakyat.
B.     Kekurangan atau Kelemahan dari Adanya Penerapan Otonomi Daerah
Di samping keuntungan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung kelemahan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai berikut ini :
1.        Karena besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah kompleks, yang justru mempersulit koordinasi.
2.        Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.
3.        Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya  apa yang disebut daerahisme atau provinsialisme.
4.     Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele.
5.    Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa permasalahan di seputar otonomi daerah tidak kunjung selesai dan bahkan telah memunculkan ide beberapa daerah untuk melepaskan diri dari wilayah Indonesia. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dinilai kurang adil pembagiannya, karena ternyata daerah hanya memperoleh sebagian kecil dari potensi yang dimilikinya.
Di sisi lain pemerintah daerah juga dihadapkan pada berbagai tantangan baik internal maupun eksternal. Tantangan internal yang dihadapi oleh pemerintah antara lain adalah lemahnya sumber daya aparatur pemerintah daerah, sementara masyarakat telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga tuntutan terhadap pengelolaan pemerintahan daerah yang sangat demokratis akan mewarnai perjalanan pemerintahan itu sendiri. Sedangkan secara eksternal pemerintah daerah dihadapkan pada arus perubahan yang semakin cepat dan mengglobal yang harus direspon oleh pemerintah daerah.
C.     Kendala yang Dihadapi dalam Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia
Kendala-kendala yang dihadapi pemerintah dalam menerapkan sistem Otonomi Daerah diantaranya (1) mentalitas aparat pemerintah yang belum berubah dari mindset sentral menjadi disentral (otonom); (2) hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah; (3) sumber daya manusia yang terbatas; (4) pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan dan penguasaan aset oleh aparat pemerintah; serta (5) keinginan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai unit politik di samping unit sosial budaya.
Dalam situasi yang serba terikat selama lebih dari tiga puluh tahun, tiba-tiba daerah diberikan kewenangan yang sedemikian besar. Dengan kewenangan yang cukup besar tersebut berarti pemerintah daerah memiliki keleluasaan dan tanggung jawab yang lebih besar daripada sistem yang berlangsung sebelumnya. Akan tetapi di sisi lain, mentalitas sumber daya manusia hingga saat ini masih belum berubah dari mindset sentralisme menjadi disentralisme atau otonom. Maka, tidak mengherankan jika muncul persoalan-persoalan seperti batas wilayah, ketidakharmonisan hubungan antar institusi pusat daerah, berbagai konflik horizontal yang dipengaruhi oleh konfigurasi etnis dan berbagai kebijakan untuk meningkatkan pendapatan daerah yang cenderung memberatkan rakyat.
Selain itu, pelimpahan wewenang di sebagian daerah memunculkan kedaerahan seperti munculnya kekuatan-kekuatan kelompok aristokrasi dalam politik lokal. Kepentingan yang berorientasi pada kekuasaan politis dan penguasaan aset daerah menjadi persoalan yang sering muncul dalam masa transisi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Gejala etno-sentrisme juga mulai muncul pada saat munculnya kerusuhan yang berlatar belakang etnis di beberapa wilayah seperti Sampit, Poso, Ambon dan di beberapa daerah pemekaran. Bahkan pada saat dipilihnya kepala daerah berdasarkan UU No. 22/1999 di tahun 2000, isu PAD (Putra Asli Daerah) merebak.
Tuntutan pemilihan pemimpin daerah dengan kriteria sebagai Putra Asli Daerah bahkan masuk ke dalam tata tertib DPRD. Sehingga isu putra daerah tersebut merupakan isu yang paling sensitif dan berpotensi mengganggu hubungan baik dengan pendatang tetapi telah lama berdomisili di tempat tersebut. Orang yang potensial dan berkualitas tetapi bukan putra daerah akan cenderung tersingkir dalam proses politik dan hanya akan mendapat peran sampingan saja. Proses ini selanjutnya akan mengarah pada penurunan kualitas kepala daerah jika persyaratan utama menjadi kepala daerah bertumpu pada kriteria putra asli daerah. Sesungguhnya keinginan memiliki kepala daerah dengan kriteria putra asli daerah bukanlah keinginan yang buruk apabila didasari harapan bahwa putra daerah akan lebih peka terhadap kebutuhan daerah dan mampu mengakomodasi kepentingan berbagai lapisan masyarakat setempat
Selain hambatan isu kedaerahan tersebut, terjadinya konflik dan tumpang tindih kekuasaan juga muncul antara pemerintah pusat dengan daerah. Pemerintah pusat yang di masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah memiliki wewenang yang sangat besar menjadi ‘powerless’ di hadapan pemerintah daerah. Pertama, konflik antara gubernur, bupati dan walikota dengan DPRD. Kedua, konflik antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Sebagai contoh sering terjadi bupati/ walikota tidak memenuhi undangan gubernur ke ibukota provinsi dengan alasan kesibukan di daerah dan ketiadaan dana karena adanya persepsi di kalangan pejabat pemerintah daerah bahwa mereka tidak lagi terikat dan tunduk kepada pemerintah pusat tingkat provinsi. Padahal, dalam UU No. 22/1999 sebelum amandemennya keluar yaitu UU No. 32/2004, gubernur masih memiliki fungsi koordinasi. (Syaukani, Gaffar dan Rasyid, 2004).
D.     Solusi untuk Mengatasi Kendala Penerapan Otonomi Daerah dan Peran Serta Masyarakat
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang setengah hati dan berada dipersimpangan jalan tentu saja harus dikembalikan ke koridor yang sesungguhnya. Untuk inilah, peran lembaga mediasi seperti Partnership for Governance Reform (PGR) dibutuhkan untuk membangun kapasitas masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Selain itu, partnership juga dapat memberi tekanan agar agenda desentralisasi dan otonomi daerah tetap berjalan sesuai dengan yang diamanatkan. Intervensi yang bertujuan memperkuat masyarakat sipil dilakukan melalui program yang berkesinambungan dan terukur serta bukan berorientasi pada proyek yang bersifat jangka pendek.
Ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mengembalikan desentralisasi atau otonomi daerah agar sesuai dengan tujuan semula. Program tersebut antara lain:
1.        Menata kembali peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah untuk memperbaiki hubungan vertikal dalam pemerintahan.
2.   Meningkatkan pelaksanaan kerjasama antar pemerintah daerah termasuk peningkatan peran pemerintah provinsi.
3.        Menyusun kelembagaan pemerintah daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang perlu dikelola.
4.   Memfasilitasi penyediaan, menyusun rencana pengelolaan serta meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan, serta penciptaan aparatur pemerintah daerah yang kompeten dan profesional.
5.     Meningkatkan dan mengembangkan kapasitas keuangan pemerintah daerah dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat, penyelenggaraan otonomi daerah, dan penciptaan pemerintahan daerah yang baik.
6.        Menata dan melaksanakan kebijakan pembentukan daerah otonom baru sehingga tidak memberikan beban bagi keuangan negara dalam kerangka upaya meningkatkan pelayanan masyarakat dan percepatan pembangunan wilayah.
Dari beberapa solusi tersebut di atas bisa diketahui bahwa sumber  daya  manusia  menjadi  kata  kunci dalam mewujudkan keberhasilan otonomi daerah. Pada sisi pemerintah dapat terwujud menjadi teknokrat yang bertanggung jawab kepada kepentingan rakyat, sebaliknya pada sisi rakyat muncul partisipasi yang  besar dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Jadi, faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi Otonomi Daerah secara operasional di lapangan adalah intensitas partisipasi masyarakat. Masyarakat menjadi salah satu faktor penting bagi setiap kebijakan yang diberlakukan, karena masyarakat merupakan pihak yang langsung berkepentingan dengan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, tidak mungkin jika menghendaki suatu kebijakan berhasil tanpa melibatkan peran masyarakat.
Sedangkan untuk membangun partisipasi aktif masyarakat bisa dilakukan dengan langkah-langkah berikut: Pertama, penyusunan aturan atau perundangan yang akan diterapkan harus menyentuh dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Kedua, publikasi yang luas dan mendalam atas setiap kebijakan yang diberlakukan. Publikasi dalam hal ini berarti memberikan penjelasan atau sosialisasi kebijakan kepada masyarakat dengan bahasa masyarakat, yang jelas dan mudah dimengerti, karena masyarakat kita sangat majemuk, dengan tingkat pendidikan dan penalaran yang beragam pula. Ketiga, pemilihan dan penggunaan media yang tepat guna, dapat berupa tabloid, majalah, surat kabar, televisi, dan bahkan para ulama dan tokoh agama dalam masyarakat. Sehingga apabila peran serta masyarakat dalam implementasi otonomi daerah saat ini masih belum terlihatsaat ini, bukan berarti tidak ada kepedulian atau tidak menghendaki adanya kebijakan tersebut. Akan tetapi ada beberapa hal yang kurang diperhatikan atau dilupakan belakangan ini, yakni kepentingan masyarakat luas.










BAB IV
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari pembahasan tentang konsep pemerintahan desentralisasi atau Otonomi Daerah dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya otonomi daerah para pelaksana tingkat daerah akan lebih mudah mengambil keputusan dan terbangun kesadaran publik bahwa mereka memiliki pemerintahan dan bukan pemerintahan yang memiliki masyarakat. Meski begitu, adanya Otonomi Daerah menimbulkan permasalahan baru baik internal maupun eksternal. Tantangan internal yang dihadapi oleh pemerintah antara lain adalah lemahnya sumber daya aparatur pemerintah daerah, sementara masyarakat telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga tuntutan terhadap pengelolaan pemerintahan daerah yang sangat demokratis akan mewarnai perjalan pemerintahan itu sendiri. Sedangkan secara eksternal pemerintah daerah dihadapkan pada arus perubahan yang semakin cepat dan menglobal yang harus direspon oleh pemerintah daerah.
Dalam penerapannya pun, Otonomi Daerah mengalamai beberapa kendala seperti mentalitas aparat pemerintah yang belum berubah dari mindset sentral menjadi disentral (otonom), hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah yang kurang lancar, sumber daya manusia yang terbatas, pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan dan penguasaan aset oleh aparat pemerintah, dan keinginan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai unit politik di samping unit sosial budaya. Sedangkan solusi untuk menghadapi kendala tersebut adalah meningkatkan kerja sama antara seluruh elemen masyarakat dan pemerintah, serta menjalin hubungan yang baik secara horisontal maupun vertikal. Hal tersebut bis dilakukan dengan cara menyusun kebijakan yang adil bagi semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.
B.     Saran
Berdasarkan pembahasan, saran yang bisa diberikan adalah dengan membangun partisipasi aktif masyarakat yang bisa dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
1.      Penyusunan aturan atau perundangan yang akan diterapkan harus menyentuh dan berpihak pada kepentingan masyarakat.
2.      Publikasi yang luas dan mendalam atas setiap kebijakan yang diberlakukan.
3.      Pemilihan dan penggunaan media yang tepat guna, dapat berupa tabloid, majalah, surat kabar, televisi, dan bahkan para ulama dan tokoh agama dalam masyarakat



Daftar Rujukan
Arthur, M. 2014. "Menggugah" Peran Aktif Masyarakat dalam Otonomi Daerah (Opini). http://www.pelita.or.id/baca.php?id=4437. Diakses pada 25 Maret 2014, pukul 11:08 WIB
Chalis, Pheni. 2005. Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. Adviser for Decentralization and Regional Autonomy, Partnership for Governance Reform
Comunication, Miss. 2013. Makalah Otonomi Daerah. http://amankeun.blogspot.com/2013/12/makalah-otonomi-daerah.html. Diakses pada 24 Maret 2014, pukul 10:45 WIB
Mahgriefie, Lusi Catur. 2010. Menilik Asal Usul Otonomi Daerah. http://news.okezone.com/read/2010/12/20/337/405070/menilik-asal-usul-otonomi-daerah, diakses pada 22 Maret 2014, pukul 15:45 WIB
Manar, Dzunuwanus Ghulam. 2008. Otonomi Daerah dalam Kerangka Sumber Daya Manusia: Di Antara Harapan dan Kenyataan. Disampaikan pada Studium General 2008 Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, 18 November 2008
Munandar, Arif. 2013. Otonomi Derah Indonesia. http://arifmunandar.yu.tl/otonomi-daerah-indonesia.xhtml. Diakses pada 26 Maret 2014, pukul 06:13 WIB
Mungkasa, Oswar. 2013. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia:Konsep, Pencapaian dan Agenda Kedepan. https://www.academia.edu/2759012/Desentralisasi_dan_Otonomi_Daerah_di_Indonesia_Konsep_Pencapaian_dan_Agenda_Kedepan. Diakses pada 26 Maret 2013, pukul 06:18 WIB
Presiden Republik Indonesia. 2014. Bab 13 Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Dokumen didownload dari alamat http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/10142/1920/, pada 26 Maret 2014 pukul 14:35 WIB
Ragawino, Bewa. 2003. Makalah Desentralisasi dalam Kerangka Otonomi Daerah. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Padjadjaran.

Tangke, PM. 2009. Otonomi Daerah: Landasan Hukum, Asas, dan Pemda. http://paulusmtangke.wordpress.com/2009/03/18/otonomi-daerah-landasan-hukum-asas-dan-pemda/. Diakses pada 25 Maret 2014, pukul 14:18 WIB