KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya
kami diberi kesempatan untuk menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah
dengan judul “Sistem Otonomi Daerah (OTODA) di Indonesia dan Peran Serta Masyarakat di
Dalamnya” ini disusun sebagai
tugas matakuliah kewarganegaraan.
Selanjutnya
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi civitas
akademika yang hendak mengkaji tentang sistem otonomi daerah. Selain itu semoga makalah ini juga menjadi salah
satu sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan menjadi lebih
baik.
Akhir
kata, penyusun
memohon maaf jika dalam penyusunan
makalah ini terjadi kesalahan ejaan maupun isi. Penyusun menyadari makalah ini jauh dari sempurna sehingga kritik
dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyusunan makalah yang lebih
baik.
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Otonomi Daerah
B.
Otonomi Daerah
(OTODA) di Indonesia
BAB III PEMBAHASAN
A.
Kelebihan atau
Manfaat Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia
B.
Kekurangan atau Kelemahan
dari Adanya Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia
C.
Kendala yang
Dihadapi dalam Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia
D.
Solusi untuk
Mengatasi Kendala Penerapan Otonomi Daerah dan Peran Serta Masyarakat
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR RUJUKAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada masa penjajahan, baik kolonial
Belanda maupun Jepang, pemerintah daerah tidak dapat berbuat banyak selain
melaksanakan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dengan kata
lain, pemerintah daerah tidak mempunyai wewenang untuk menetapkan kebijakan
bagi daerahnya sendiri. Bahkan pengawasan pun dilakukan melalui hirarki yang ketat
dan terbagi dalam lima tingkat, mulai dari Gubernur Jenderal sampai Asisten
Wedana (Camat).
Sistem yang bersifat
sentral tersebut kemudian diterapkan di Indonesia sejak kemerdekaan pada tahun
1945 sampai era Orde Baru. Pada masa tersebut, terjadi ketergantungan pemerintah
daerah kepada pemerintah pusat yang sangat tinggi, sehingga tidak ada
kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu terutama dalam hal
pengelolaan pendapatan daerah. Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis
ekonomi tidak bisa cepat kembali stabil. Hal ini menunjukkan sistem pemerintahan
nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada.
Setelah terjadi reformasi,
sistem pemerintahan diganti dengan asas desentralisasi (otonomi) berdasarkan UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kemudian
dilanjutkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang
disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Melalui kebijakan
tersebut, pemerintah pusat memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk mengelola potensi yang dimiliki, sehingga prakarsa dan
kreativitas daerah pun terpacu. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak
lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Hal ini dimaksudkan agar
pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro strategis, serta
lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons, berbagai
kecenderungan global dan mengambil manfaat dari adanya kebijakan tersebut (Mahgriefie,
2010).
Seperti layaknya
kebijakan-kebijakan lainnya, otonomi daerah tidak lepas dari kelemahan serta
hambatan dalam pelaksanaannya. Kritik karena adanya kebijakan tersebut juga
tidak sedikit, meski tidak dapat dipungkiri bahwa konsep desentralisasi
memiliki banyak kelebihan dibanding konsep pemerintahan sentral. Oleh karena
itu kebijakan otonomi daerah di Indonesia sangat penting untuk dikaji dan dipelajari
demi meningkatkan pembangunan Indonesia yang lebih baik.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
kondisi yang telah disebutkan sebelumnya, maka rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini antara lain:
1.
Apa kelebihan
atau manfaat dari penerapan kebijakan otonomi daerah di Indonesia?
2.
Apa saja kekurangan
atau kerugian dari penerapan otonomi daerah?
3.
Apa kendala yang
dihadapi dalam penerapan kebijakan otonomi daerah?
4.
Bagaimana solusi
dan peran serta masyarakat yang bisa diterapkan?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penyusunan
makalah “Sistem Otonomi Daerah (OTODA) di Indonesia dan Peran Serta Masyarakat
di Dalamnya” ini adalah:
1.
Mengetahui kelebihan atau manfaat
penerapan kebijakan otonomi daerah di Indonesia.
2. Mengetahui kekurangan atau kerugian dari
adanya penerapan kebijakan otonomi daerah di Indonesia.
3. Mengetahui kendala atau hambatan yang
terjadi selama pelaksanaan kebijakan otonomi daerah.
4. Mengetahui solusi dan peran masyarakat
yang bisa diterapkan untuk mendukung kesuksesan kebijakan otonomi daerah.
5.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Pengertian Otonomi Daerah
Desentralisasi
dan otonomi daerah merupakan bentuk sistem penyerahan urusan pemerintahan dan
pelimpahan wewenang kepada daerah yang berada dibawahnya. Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Chalid, 2005).
Dengan kata lain, pemerintah daerah diberi wewenang/kekuasaan untuk mengatur
dan mengelola kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari
ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan
sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah
lingkungannya.
Menurut
Undang-Undanng (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa
otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam UU tersebut juga disebutkan bahwa
desentralisasi adalah
penyerahan wewenang oleh
Pemerintah Pusat kepada Daerah
Otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik (Abe, 2002 dalam Ragawino,
2003). Selanjutnya Ragawino (2003) juga menyebutkan bahwa hakikat dan
spirit otonomi daerah
sesuai dengan UU
No.22 Tahun 1999
dan No.25 Tahun 1999
adalah distribusi dan
pembangunan kewenangan berdasarkan
asas desentralisasi,
dekosentralisasi, dan perbantuan
pada strata pemerintahan
guna mendorong prakarsa lokal
dalam membangun kemandirian
daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ada dua alasan pokok, menurut Robert Rienow (1996) dalam Tangke (2009), dari kebijaksanaan membentuk pemerintahan di daerah, yaitu: (a) membangun kebiasaan agar rakyat
memutuskan sendiri sebagian kepentingannya yang berkaitan langsung dengan
rakyat; (b) memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas
yang mempunyai tuntutan yang bermacam-macam untuk membuat aturan-aturan dan
programnya sendiri.
Tangke
(2009) juga menyebutkan bahwa manfaat Otonomi
Daerah, menurut Shabbir Cheema dan Rondinelli (dalam Dadang Solihin, 2007), antara lain: perencanaan dapat
dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat
heterogen; memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat
terstruktur dari pemerintah pusat; perumusan kebijaksanaan dari pemerintah akan
lebih realistik; desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya “penetrasi” yang lebih
baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah yang terpencil atau sangat jauh
dari pusat, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahami oleh
masyarakat setempat atau dihambat oleh elite lokal, dukungan terhadap program
pemerintah sangat terbatas.
B. Otonomi Daerah (OTODA) di Indonesia
Ragawino (2003)
menyebutkan bahwa implementasi kebijakan otonomi secara efektif dilaksanakan di
Indonesia sejak 1 Januari 2001, memberikan
proses pembelajaran berharga, terutama esensinya dalam kehidupan membangun
demokrasi, kebersamaan, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman daerah dalam kesatuan
melalui dorongan pemerintah untuk tumbuh dan berkembangnya prakarsa awal
(daerah dan masyarakat) menuju kesejahteraan masyarakat. Prinsip dasar otonomi
daerah secara konsepsional adalah: pendelegasian kewenangan (delegation of autority), pembagian
pendapatan (income sharing), kekuasaan
(dicreation), keanekaragaman dalam
kesatuan (uniformity in unitry), kemandirian
lokal, pengembangan kapasitas daerah (capacity
building).
Sistem otonomi daerah
di Indonesia sendiri muncul sebagai bentuk
ketidakpuasan terhadap konsep sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru
namun tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik
pemerintah maupun masyarakat daerah. Dasar hukum sistem Otonomi
Daerah di Indonesi berpijak pada dasar perundang-undangan yang kuat (Permataku,
2012 dan Anurudin, 2012), antara lain:
1. Undang
Undang Dasar (UUD), yakni Pasal 18 ayat 1 sampai 7 Undang Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan MPR-RI, yakni Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998
tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan
Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Undang-Undang (UU), yakni UU No.22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. UU ini telah
diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004.
4. UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang telah diubah dengan UU No.
33 Tahun 2004.
Beberapa
aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah
(Munandar, 2013):
1.
Undang-Undang No. 5 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
2.
Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
3. Undang-Undang No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
4.
Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
5. Undang-Undang No. 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah.
6.
Perpu No. 3 Tahun 2005
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
7.
Undang-Undang No. 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Menurut
Mungkasa (2013) sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, telah terbentuk daerah otonom baru sebanyak 205
buah yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 Kota. Dengan
perkataan lain terjadi peningkatan 64%dari jumlah daerah otonom tahun 1998
atau secara rata rata dalam satu tahun lahir 20 daerah otonom
baru. Sehingga daerah otonom menjadi sebanyak 524 unit
(propinsi, kabupaten, kota).
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Kelebihan
atau Manfaat Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia
Dari penjelasan
sebelumnya telah diketahui bahwa kondisi Indonesia yang berbeda-beda di tiap
daerah menjadi salah satu alasan mengapa sistem otonomi diterapkan. Selain itu,
ada beberapa keuntungan dengan
menerapkannya otonomi daerah, yakni :
1.
Mengurangi
bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
2.
Dalam
menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat,
sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari pemerintah pusat untuk
mengambil keputusan dalam menghadapi maslah tersebut.
3.
Dalam
sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan
(spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi
teretorial, dapat lebih mudah menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan
khusus daerah.
4. Dengan
adanya desentralisasi teritorial, daerah otonomi dapat merupakan semacam
laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat
bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan di
seluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu
daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih mudah untuk diadakan.
5. Mengurangi
kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat.
6. Dari
segi psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan
yang lebih besar kepada daerah.
7. Akan
dapat memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat
yang dilayani.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa dengan adanya otonomi daerah para pelaksana tingkat daerah akan lebih
mudah mengambil keputusan. Hal ini secara tidak langsung akan mendidik para
pengambil keputusan pada tingkat bawah untuk bertanggung jawab atas keputusan
yang diambil. Selain itu, dengan adanya otonomi daerah akan terbangun kesadaran
publik bahwa mereka memiliki pemerintahan dan bukan pemerintahan yang memiliki
masyarakat, karena rakyat merupakan konsep kebangsaan, yaitu kedaulatannya berada
di tangan rakyat.
B. Kekurangan atau
Kelemahan dari Adanya Penerapan Otonomi Daerah
Di samping keuntungan tersebut di atas, otonomi daerah juga
mengandung kelemahan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain
sebagai berikut ini :
1.
Karena
besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah
kompleks, yang justru mempersulit koordinasi.
2.
Keseimbangan
dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah
terganggu.
3.
Khusus
mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang
disebut daerahisme atau provinsialisme.
4. Keputusan
yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang
bertele-tele.
5. Dalam
penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit
untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa permasalahan di seputar otonomi daerah tidak kunjung selesai dan bahkan
telah memunculkan ide beberapa daerah untuk melepaskan diri dari wilayah Indonesia.
Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dinilai kurang adil pembagiannya,
karena ternyata daerah hanya memperoleh sebagian kecil dari potensi yang
dimilikinya.
Di sisi lain pemerintah daerah juga
dihadapkan pada berbagai tantangan baik internal maupun eksternal. Tantangan
internal yang dihadapi oleh pemerintah antara lain adalah lemahnya sumber daya
aparatur pemerintah daerah, sementara masyarakat telah mengalami perkembangan
yang cukup pesat, sehingga tuntutan terhadap pengelolaan pemerintahan daerah
yang sangat demokratis akan mewarnai perjalanan pemerintahan itu sendiri.
Sedangkan secara eksternal pemerintah daerah dihadapkan pada arus perubahan
yang semakin cepat dan mengglobal yang harus direspon oleh pemerintah daerah.
C.
Kendala
yang Dihadapi dalam Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia
Kendala-kendala
yang dihadapi pemerintah dalam menerapkan sistem Otonomi Daerah diantaranya (1)
mentalitas aparat pemerintah yang belum berubah dari mindset sentral menjadi disentral (otonom); (2) hubungan antara
pemerintah pusat dengan daerah; (3) sumber daya manusia yang terbatas; (4)
pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan dan
penguasaan aset oleh aparat pemerintah; serta (5) keinginan pemerintah untuk
menjadikan desa sebagai unit politik di samping unit sosial budaya.
Dalam
situasi yang serba terikat selama lebih dari tiga puluh tahun, tiba-tiba daerah
diberikan kewenangan yang sedemikian besar. Dengan kewenangan yang cukup besar
tersebut berarti pemerintah daerah memiliki keleluasaan dan tanggung jawab yang
lebih besar daripada sistem yang berlangsung sebelumnya. Akan tetapi di sisi
lain, mentalitas sumber daya manusia hingga saat ini masih belum berubah dari mindset sentralisme menjadi
disentralisme atau otonom. Maka, tidak mengherankan jika muncul
persoalan-persoalan seperti batas wilayah, ketidakharmonisan hubungan antar
institusi pusat daerah, berbagai konflik horizontal yang dipengaruhi oleh
konfigurasi etnis dan berbagai kebijakan untuk meningkatkan pendapatan daerah
yang cenderung memberatkan rakyat.
Selain
itu, pelimpahan wewenang di sebagian daerah memunculkan kedaerahan seperti
munculnya kekuatan-kekuatan kelompok aristokrasi dalam politik lokal.
Kepentingan yang berorientasi pada kekuasaan politis dan penguasaan aset daerah
menjadi persoalan yang sering muncul dalam masa transisi pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah. Gejala etno-sentrisme juga mulai muncul pada
saat munculnya kerusuhan yang berlatar belakang etnis di beberapa wilayah
seperti Sampit, Poso, Ambon dan di beberapa daerah pemekaran. Bahkan pada saat
dipilihnya kepala daerah berdasarkan UU No. 22/1999 di tahun 2000, isu PAD
(Putra Asli Daerah) merebak.
Tuntutan
pemilihan pemimpin daerah dengan kriteria sebagai Putra Asli Daerah bahkan
masuk ke dalam tata tertib DPRD. Sehingga isu putra daerah tersebut merupakan
isu yang paling sensitif dan berpotensi mengganggu hubungan baik dengan
pendatang tetapi telah lama berdomisili di tempat tersebut. Orang yang
potensial dan berkualitas tetapi bukan putra daerah akan cenderung tersingkir
dalam proses politik dan hanya akan mendapat peran sampingan saja. Proses ini
selanjutnya akan mengarah pada penurunan kualitas kepala daerah jika
persyaratan utama menjadi kepala daerah bertumpu pada kriteria putra asli
daerah. Sesungguhnya keinginan memiliki kepala daerah dengan kriteria putra
asli daerah bukanlah keinginan yang buruk apabila didasari harapan bahwa putra
daerah akan lebih peka terhadap kebutuhan daerah dan mampu mengakomodasi
kepentingan berbagai lapisan masyarakat setempat
Selain
hambatan isu kedaerahan tersebut, terjadinya konflik dan tumpang tindih
kekuasaan juga muncul antara pemerintah pusat dengan daerah. Pemerintah pusat
yang di masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah memiliki wewenang yang
sangat besar menjadi ‘powerless’ di hadapan pemerintah daerah. Pertama,
konflik antara gubernur, bupati dan walikota dengan DPRD. Kedua, konflik
antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Sebagai contoh sering terjadi
bupati/ walikota tidak memenuhi undangan gubernur ke ibukota provinsi dengan
alasan kesibukan di daerah dan ketiadaan dana karena adanya persepsi di
kalangan pejabat pemerintah daerah bahwa mereka tidak lagi terikat dan tunduk
kepada pemerintah pusat tingkat provinsi. Padahal, dalam UU No. 22/1999 sebelum
amandemennya keluar yaitu UU No. 32/2004, gubernur masih memiliki fungsi
koordinasi. (Syaukani, Gaffar dan Rasyid, 2004).
D.
Solusi
untuk Mengatasi Kendala Penerapan Otonomi Daerah dan Peran Serta Masyarakat
Pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah yang setengah hati dan berada dipersimpangan
jalan tentu saja harus dikembalikan ke koridor yang sesungguhnya. Untuk inilah,
peran lembaga mediasi seperti Partnership for Governance Reform (PGR)
dibutuhkan untuk membangun kapasitas masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam
pembangunan. Selain itu, partnership juga dapat memberi tekanan agar agenda
desentralisasi dan otonomi daerah tetap berjalan sesuai dengan yang diamanatkan.
Intervensi yang bertujuan memperkuat masyarakat sipil dilakukan melalui program
yang berkesinambungan dan terukur serta bukan berorientasi pada proyek yang
bersifat jangka pendek.
Ada beberapa solusi
yang bisa dilakukan untuk mengembalikan desentralisasi atau otonomi daerah agar
sesuai dengan tujuan semula. Program tersebut antara lain:
1.
Menata kembali peraturan
perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah untuk memperbaiki
hubungan vertikal dalam pemerintahan.
2. Meningkatkan pelaksanaan kerjasama antar
pemerintah daerah termasuk peningkatan peran pemerintah provinsi.
3.
Menyusun kelembagaan pemerintah daerah
yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang perlu
dikelola.
4. Memfasilitasi penyediaan, menyusun
rencana pengelolaan serta meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam
rangka peningkatan pelayanan masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan, serta
penciptaan aparatur pemerintah daerah yang kompeten dan profesional.
5. Meningkatkan dan mengembangkan kapasitas
keuangan pemerintah daerah dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat,
penyelenggaraan otonomi daerah, dan penciptaan pemerintahan daerah yang baik.
6.
Menata dan melaksanakan kebijakan
pembentukan daerah otonom baru sehingga tidak memberikan beban bagi keuangan
negara dalam kerangka upaya meningkatkan pelayanan masyarakat dan percepatan
pembangunan wilayah.
Dari beberapa solusi tersebut di atas
bisa diketahui bahwa sumber daya manusia
menjadi kata kunci dalam mewujudkan keberhasilan otonomi
daerah. Pada sisi pemerintah dapat terwujud menjadi teknokrat yang bertanggung
jawab kepada kepentingan rakyat, sebaliknya pada sisi rakyat muncul partisipasi
yang besar dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah. Jadi, faktor yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi Otonomi Daerah secara operasional di lapangan adalah intensitas
partisipasi masyarakat. Masyarakat menjadi salah satu faktor penting bagi
setiap kebijakan yang diberlakukan, karena masyarakat merupakan pihak yang
langsung berkepentingan dengan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, tidak
mungkin jika menghendaki suatu kebijakan berhasil tanpa melibatkan peran
masyarakat.
Sedangkan untuk membangun partisipasi
aktif masyarakat bisa dilakukan dengan langkah-langkah berikut: Pertama, penyusunan
aturan atau perundangan yang akan diterapkan harus menyentuh dan berpihak pada
kepentingan masyarakat. Kedua, publikasi yang luas dan mendalam atas setiap
kebijakan yang diberlakukan. Publikasi dalam hal ini berarti memberikan penjelasan atau
sosialisasi kebijakan kepada masyarakat
dengan bahasa masyarakat, yang jelas dan mudah dimengerti, karena masyarakat
kita sangat majemuk, dengan tingkat pendidikan dan penalaran yang beragam pula.
Ketiga, pemilihan dan penggunaan media yang tepat guna, dapat
berupa tabloid, majalah, surat kabar, televisi, dan bahkan para ulama dan tokoh
agama dalam masyarakat. Sehingga apabila peran serta masyarakat dalam
implementasi otonomi daerah saat ini masih belum terlihatsaat ini, bukan
berarti tidak ada kepedulian atau tidak menghendaki adanya kebijakan tersebut. Akan
tetapi ada beberapa hal yang kurang diperhatikan atau dilupakan belakangan ini,
yakni kepentingan masyarakat luas.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
tentang konsep pemerintahan desentralisasi
atau Otonomi Daerah dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya otonomi daerah para pelaksana tingkat daerah
akan lebih mudah mengambil keputusan dan terbangun kesadaran publik bahwa
mereka memiliki pemerintahan dan bukan pemerintahan yang memiliki masyarakat.
Meski begitu, adanya Otonomi Daerah menimbulkan permasalahan baru baik internal
maupun eksternal. Tantangan internal yang dihadapi oleh pemerintah antara lain
adalah lemahnya sumber daya aparatur pemerintah daerah, sementara masyarakat
telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga tuntutan terhadap
pengelolaan pemerintahan daerah yang sangat demokratis akan mewarnai perjalan
pemerintahan itu sendiri. Sedangkan secara eksternal pemerintah daerah
dihadapkan pada arus perubahan yang semakin cepat dan menglobal yang harus
direspon oleh pemerintah daerah.
Dalam
penerapannya pun, Otonomi Daerah mengalamai beberapa kendala seperti mentalitas
aparat pemerintah yang belum berubah dari mindset
sentral menjadi disentral (otonom), hubungan antara pemerintah pusat dengan
daerah yang kurang lancar, sumber daya manusia yang terbatas, pertarungan
kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan dan penguasaan aset oleh
aparat pemerintah, dan keinginan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai unit
politik di samping unit sosial budaya. Sedangkan solusi untuk menghadapi
kendala tersebut adalah meningkatkan kerja sama antara seluruh elemen
masyarakat dan pemerintah, serta menjalin hubungan yang baik secara horisontal
maupun vertikal. Hal tersebut bis dilakukan dengan cara menyusun kebijakan yang
adil bagi semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.
B.
Saran
Berdasarkan
pembahasan, saran yang bisa diberikan adalah
dengan membangun partisipasi aktif masyarakat yang bisa dilakukan dengan langkah-langkah
berikut:
1. Penyusunan aturan atau perundangan yang akan diterapkan harus menyentuh dan
berpihak pada kepentingan masyarakat.
2. Publikasi yang luas dan mendalam atas setiap kebijakan yang diberlakukan.
3. Pemilihan dan penggunaan media yang tepat guna, dapat berupa tabloid,
majalah, surat kabar, televisi, dan bahkan para ulama dan tokoh agama dalam
masyarakat
Daftar Rujukan
Arthur, M. 2014. "Menggugah" Peran Aktif
Masyarakat dalam Otonomi Daerah (Opini).
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=4437. Diakses pada 25 Maret 2014, pukul
11:08 WIB
Chalis, Pheni. 2005. Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan
Konflik. Adviser for Decentralization and Regional Autonomy, Partnership
for Governance Reform
Comunication, Miss. 2013. Makalah Otonomi Daerah. http://amankeun.blogspot.com/2013/12/makalah-otonomi-daerah.html.
Diakses pada 24 Maret 2014, pukul 10:45 WIB
Mahgriefie, Lusi Catur. 2010. Menilik Asal Usul Otonomi Daerah.
http://news.okezone.com/read/2010/12/20/337/405070/menilik-asal-usul-otonomi-daerah,
diakses pada 22 Maret 2014, pukul 15:45 WIB
Manar, Dzunuwanus Ghulam. 2008. Otonomi Daerah dalam Kerangka Sumber Daya
Manusia: Di Antara Harapan dan Kenyataan. Disampaikan pada Studium General
2008 Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro,
Semarang, 18 November 2008
Munandar, Arif. 2013. Otonomi Derah Indonesia.
http://arifmunandar.yu.tl/otonomi-daerah-indonesia.xhtml. Diakses pada 26 Maret
2014, pukul 06:13 WIB
Mungkasa, Oswar. 2013. Desentralisasi
dan Otonomi Daerah di Indonesia:Konsep, Pencapaian dan Agenda Kedepan. https://www.academia.edu/2759012/Desentralisasi_dan_Otonomi_Daerah_di_Indonesia_Konsep_Pencapaian_dan_Agenda_Kedepan. Diakses pada 26 Maret 2013, pukul 06:18 WIB
Presiden Republik Indonesia. 2014. Bab 13 Revitalisasi Proses Desentralisasi
dan Otonomi Daerah. Dokumen didownload dari alamat http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/10142/1920/,
pada 26 Maret 2014 pukul 14:35 WIB
Ragawino, Bewa. 2003. Makalah Desentralisasi dalam Kerangka
Otonomi Daerah. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas
Padjadjaran.
Tangke, PM. 2009. Otonomi Daerah: Landasan Hukum, Asas, dan
Pemda.
http://paulusmtangke.wordpress.com/2009/03/18/otonomi-daerah-landasan-hukum-asas-dan-pemda/.
Diakses pada 25 Maret 2014, pukul 14:18 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar