Sabtu, 15 November 2014

Psycho #1

Udah lama nggak, bikin postingan. Akhirnya kangen juga. Kali ini ane bakal nulis ulang cerpen lama ane. Boleh dibilang horror, sih.....meski ane mnggolongkannya ke dalam drama tragis. Karena cerpen inilah ane sadar aliran fiksi ane. Yup, aliran fiksi yang gelap dan tragis. Langsung aje dah. Berharap ane bisa enteng setelah memposting tulisan gujis ini.

Psycho #1
           
            Sosok wanita itu tersenyum padaku. Di tengah himpitan dunia yang begitu tajam ini mustahil senyum itu merupakan senyuman yang tulus. Namun, mengapa senyum itu tertuju padaku? Yang aku yakin jika aku bercermin akan nampak sosok tokoh wayang bernama Buto Cakil di sana.

            Wanita itu kembali tersenyum padaku. Ah... seandainya terjadi hujan racun, pastilah akan menjadi madu. Bukan......maksudnya bukan berubah jadi hujan madu, tapi racun itulah yang akan menjadi madu. Tapi aku masih ragu, akankah ia nyata?

            “Yes, Boy! I’m real, and I really do love you. I wish you can be my boyfriend. You want it too, don’t you?”

            Agh....tertambah bahasa asing. Sesaat aku merasa seakan masuk ke dalam lorong waktu dan terlempar ke masa Eropa menguasai dunia timur. Dan wanita itu ialah jelita eropa yang sedang berjalan menikmati lanskap alam yang begitu megah di alam timur. Lalu ia bertemu pemuda kotor yang dalam pandangannya pastilah seperti sosok putra dewa. Padahal tak lebih dari sosok iblis.

           “Umm..... cinta..... Kau bilang cinta..... tapi apa kau tahu arti cinta itu sendiri?” tanyaku sangsi.

           “Well, yes. Sepertinya kau masih tak suka dengan gaya bahasaku. Baiklah aku akan bercakap dengan menggunakan bahasamu.”

            Kami terdiam sejenak.

            “Jadi, kau sendiri yang pernah bilang, bahwa cinta bukanlah rasa untuk ingin memiliki, menyayangi, membelai, dan memandangi, namun cinta adalah rasa untuk melindungi. Dan cinta yang sejati ialah cinta yang beralas, berdinding, berpilar, beratapkan kecintaan dan keridlaan pada Yang Mahacinta. Aku ingin belajar itu darimu. Dan aku ingin menjadi sosok yang akan selalu kau lindungi.”

            “Ah, bisa apa aku melindungimu? Aku bahkan tak mampu melindungi diriku sendiri darimu dan godaanmu.”

            “Hegh, kau berkata seolah-olah kau ini cinderella pria dan aku pengeran wanita. Jujurlah, apa yang membuatmu tak bisa menerimaku? Apa yang membuatmu tak memiliki rasa cinta yang sangat kau mengerti artinya itu?”

            Aku diam. Dia menunggu.

            “Yah, tak ada.......,” jawabku enteng.

            “Tak ada bagaimana maksudmu?”

            “Entahlah.”

            “Please, jangan bercanda. Aku telah tersesat jauh. Aku telah banyak mengenal pria dan aku telah sering memberi cintaku pada mereka. Dan cintaku itu adalah seluruh hidupku. Jiwaku dan ragaku. Lalu mereka pergi dan habislah cintaku. Kemudian kau datang dan mengisi pundi cintaku kembali. Jadi, salahkah aku bila mencintaimu dan berharap kita saling bersatu, saling mencintai? Aku yakin kau juga begitu bukan?”

            “Huft..... Kau ini..... Mengapa kau bisa mencintaiku? Mengapa kau juga yakin aku mencintaimu pula?”

            “Kau bilang aku indah, sedang kebanyakan pria mengatakan aku ini cantik. Kau melihatku dengan cara berbeda dengan manusia yang lain. Dan dari tatapanmu yang sayu, mendayu, dalam, teduh, dan melindungi. Seakan kau ingin berkata bahwa kau akan melindungiku, layaknya ucapanmu bahwa cinta adalah untuk melindungi.”

            “Benar juga..... Memang kau ini indah. Kau juga wanita yang memerlukan perlindungan......”aku berhenti sejenak, memikirkan sesuatu.
“Jadi, maukah kau kemari untuk membuktikan cintamu?”

            “Ah..... akhirnya kau mengerti. Baiklah. Aku datang untukmu. Aku padamu. Kuserahkan seluruhku padamu.........,”

            “Seluruhmu padaku?”

            Aku terhenyak. Kata-kata itu tiba-tiba berubah menjadi ribuan anak panah beracun yang menghujam jantungku. Aku sudah menduga wanita itu akan berkata seperti itu, tapi aku menafikkan diri. Namun aku tak menunjukkn keterkejutanku.

            Wanita itu semakin dekat denganku.....dan aku pun semakin yakin dengan keputusanku yang akan kuambil. Wanita itu semakin dekat menyerahkan diri padaku. Sedangkan aku......
            “Kau salah. Seharusnya kau tak menyerahkan seluruhmu padaku. Cinta bukan penyerahan diri pada sesama makhluk, namun kepada Sang Pemilik Makhluk. Kau masih salah mengerti.”

            Wanita itu berhenti tepat di depanku. Menatapku tak percaya. Wajahnya menahan sakit yang teramat sangat.
            “Mengapa? Mengapa kau lakukan ini padaku?”
            Aku menatapnya dingin.

            “Bukan aku, kau sendiri yang melakukannya. Kau bilang mencintaiku, sementara aku tak mencintai siapa pun selain Tuhanku. Seharusnya jika kau mencintaiku, kau juga mencintai Tuhanku, dan menyerahkan seluruh dirimu kepada-Nya, bukan kepadaku.”

            Wanita itu merintih.
“Jadi, hanya karena itukah kau tega menusukkan belati itu padaku?”

            Aku terdiam. Menatap matanya kosong.
            “Kau berbohong padaku dan tidak mencintai Tuhanku. Aku hanya akan mencintai orang yang juga mencintai Tuhannya, dan ia hanya akan memberikan dirinya pada Tuhan yang dicintainya. Bukan  padaku. Sedangkan kau tidak begitu. Kau berkata bahwa kau mencintaiku dan bersedia meninggalkan jalan sesatmu. Tapi kau malah ingin kembali menyerahkan dirimu, hidupmu, dan seluruhmu padaku. Seperti yang kau lakukan pada pria-pria lain sebelumku. Kau pikir aku suka?”

            “Tapi.....tapi.....bukankah masih ada kesempatan bagiku untuk kembali ke jalan-Nya? Mengapa kau tak memberi kesempatan itu padaku?”

            “Benar, memang ada. Tapi kau juga telah membuangnya tadi. Wanita sepertimu akan sulit untuk benar-benar kembali ke jalan-Nya setelah terlalu lama berkubang dalam lumpur. Sebentar kau bersamaku, setelah bosan kau pasti akan berpaling dan kembali lagi ke kubangan lumpurmu. Jadi, maafkan aku.......dan selamat tinggal. Aku hanya ingin membersihkan dunia ini dari orang-orang sepertimu.”

            Aku menancapkan belatiku lebih dalam di dadanya. Lalu wanita itu limbung. Ia mengerjap, meniti tali antara kehidupan dan kematian. Matanya membelalak, antara menahan sakit dan mungkin, memandangku marah. Seiring waktu ia semakin melemah. Akhirnya ia berhenti dan terkulai lemas di depan kakiku, dengan mata terbuka dan mulut ternganga. Kucabut belatiku dari dadanya. Darah hitam terpancar keluar dari luka itu. Kubersihkan belati suciku dengan gaun merah yang dipakai wanita itu.

Aku memandangnya sejenak. Tapi lalu kutinggalkan juga akhirnya dengan darah hitam menggenanginya. Rasa kecewa menyelimutiku, tapi tak kusangkal ada rasa puas di sana. Satu jiwa kotor telah hilang, dan jiwa yang lain telah menunggu untuk dibersihkan.


۞        ۞        ۞

Tidak ada komentar:

Posting Komentar