Udah lama nggak, bikin postingan. Akhirnya kangen juga. Kali ini ane bakal nulis ulang cerpen lama ane. Boleh dibilang horror, sih.....meski ane mnggolongkannya ke dalam drama tragis. Karena cerpen inilah ane sadar aliran fiksi ane. Yup, aliran fiksi yang gelap dan tragis. Langsung aje dah. Berharap ane bisa enteng setelah memposting tulisan gujis ini.
Psycho
#1
Sosok wanita itu tersenyum padaku.
Di tengah himpitan dunia yang begitu tajam ini mustahil senyum itu merupakan
senyuman yang tulus. Namun, mengapa senyum itu tertuju padaku? Yang aku yakin
jika aku bercermin akan nampak sosok tokoh wayang bernama Buto Cakil di sana.
Wanita itu kembali tersenyum padaku.
Ah... seandainya terjadi hujan racun, pastilah akan menjadi madu.
Bukan......maksudnya bukan berubah jadi hujan madu, tapi racun itulah yang akan
menjadi madu. Tapi aku masih ragu, akankah ia nyata?
“Yes,
Boy! I’m real, and I really do love you. I wish you can be my boyfriend. You
want it too, don’t you?”
Agh....tertambah bahasa asing.
Sesaat aku merasa seakan masuk ke dalam lorong waktu dan terlempar ke masa
Eropa menguasai dunia timur. Dan wanita itu ialah jelita eropa yang sedang
berjalan menikmati lanskap alam yang begitu megah di alam timur. Lalu ia
bertemu pemuda kotor yang dalam pandangannya pastilah seperti sosok putra dewa.
Padahal tak lebih dari sosok iblis.
“Umm..... cinta..... Kau bilang
cinta..... tapi apa kau tahu arti cinta itu sendiri?” tanyaku sangsi.
“Well,
yes. Sepertinya kau masih tak suka dengan gaya bahasaku. Baiklah aku akan
bercakap dengan menggunakan bahasamu.”
Kami terdiam sejenak.
“Jadi, kau sendiri yang pernah bilang,
bahwa cinta bukanlah rasa untuk ingin memiliki, menyayangi, membelai, dan
memandangi, namun cinta adalah rasa untuk melindungi. Dan cinta yang sejati
ialah cinta yang beralas, berdinding, berpilar, beratapkan kecintaan dan
keridlaan pada Yang Mahacinta. Aku ingin belajar itu darimu. Dan aku ingin
menjadi sosok yang akan selalu kau lindungi.”
“Ah, bisa apa aku melindungimu? Aku
bahkan tak mampu melindungi diriku sendiri darimu dan godaanmu.”
“Hegh, kau berkata seolah-olah kau
ini cinderella pria dan aku pengeran wanita. Jujurlah, apa yang membuatmu tak
bisa menerimaku? Apa yang membuatmu tak memiliki rasa cinta yang sangat kau
mengerti artinya itu?”
Aku diam. Dia menunggu.
“Yah, tak ada.......,” jawabku
enteng.
“Tak ada bagaimana maksudmu?”
“Entahlah.”
“Please,
jangan bercanda. Aku telah tersesat jauh. Aku telah banyak mengenal pria dan
aku telah sering memberi cintaku pada mereka. Dan cintaku itu adalah seluruh
hidupku. Jiwaku dan ragaku. Lalu mereka pergi dan habislah cintaku. Kemudian
kau datang dan mengisi pundi cintaku kembali. Jadi, salahkah aku bila
mencintaimu dan berharap kita saling bersatu, saling mencintai? Aku yakin kau
juga begitu bukan?”
“Huft..... Kau ini..... Mengapa kau
bisa mencintaiku? Mengapa kau juga yakin aku mencintaimu pula?”
“Kau bilang aku indah, sedang
kebanyakan pria mengatakan aku ini cantik. Kau melihatku dengan cara berbeda
dengan manusia yang lain. Dan dari tatapanmu yang sayu, mendayu, dalam, teduh,
dan melindungi. Seakan kau ingin berkata bahwa kau akan melindungiku, layaknya
ucapanmu bahwa cinta adalah untuk melindungi.”
“Benar juga..... Memang kau ini
indah. Kau juga wanita yang memerlukan perlindungan......”aku berhenti sejenak,
memikirkan sesuatu.
“Jadi, maukah kau
kemari untuk membuktikan cintamu?”
“Ah..... akhirnya kau mengerti.
Baiklah. Aku datang untukmu. Aku padamu. Kuserahkan seluruhku padamu.........,”
“Seluruhmu padaku?”
Aku terhenyak. Kata-kata itu
tiba-tiba berubah menjadi ribuan anak panah beracun yang menghujam jantungku.
Aku sudah menduga wanita itu akan berkata seperti itu, tapi aku menafikkan
diri. Namun aku tak menunjukkn keterkejutanku.
Wanita itu semakin dekat
denganku.....dan aku pun semakin yakin dengan keputusanku yang akan kuambil.
Wanita itu semakin dekat menyerahkan diri padaku. Sedangkan aku......
“Kau salah. Seharusnya kau tak
menyerahkan seluruhmu padaku. Cinta bukan penyerahan diri pada sesama makhluk,
namun kepada Sang Pemilik Makhluk. Kau masih salah mengerti.”
Wanita itu berhenti tepat di
depanku. Menatapku tak percaya. Wajahnya menahan sakit yang teramat sangat.
“Mengapa? Mengapa kau lakukan ini
padaku?”
Aku menatapnya dingin.
“Bukan aku, kau sendiri yang
melakukannya. Kau bilang mencintaiku, sementara aku tak mencintai siapa pun
selain Tuhanku. Seharusnya jika kau mencintaiku, kau juga mencintai Tuhanku,
dan menyerahkan seluruh dirimu kepada-Nya, bukan kepadaku.”
Wanita itu merintih.
“Jadi,
hanya karena itukah kau tega menusukkan belati itu padaku?”
Aku terdiam. Menatap matanya kosong.
“Kau berbohong padaku dan tidak
mencintai Tuhanku. Aku hanya akan mencintai orang yang juga mencintai Tuhannya,
dan ia hanya akan memberikan dirinya pada Tuhan yang dicintainya. Bukan padaku. Sedangkan kau tidak begitu. Kau
berkata bahwa kau mencintaiku dan bersedia meninggalkan jalan sesatmu. Tapi kau
malah ingin kembali menyerahkan dirimu, hidupmu, dan seluruhmu padaku. Seperti
yang kau lakukan pada pria-pria lain sebelumku. Kau pikir aku suka?”
“Tapi.....tapi.....bukankah masih
ada kesempatan bagiku untuk kembali ke jalan-Nya? Mengapa kau tak memberi
kesempatan itu padaku?”
“Benar, memang ada. Tapi kau juga
telah membuangnya tadi. Wanita sepertimu akan sulit untuk benar-benar kembali
ke jalan-Nya setelah terlalu lama berkubang dalam lumpur. Sebentar kau
bersamaku, setelah bosan kau pasti akan berpaling dan kembali lagi ke kubangan
lumpurmu. Jadi, maafkan aku.......dan selamat tinggal. Aku hanya ingin
membersihkan dunia ini dari orang-orang sepertimu.”
Aku menancapkan belatiku lebih dalam
di dadanya. Lalu wanita itu limbung. Ia mengerjap, meniti tali antara kehidupan
dan kematian. Matanya membelalak, antara menahan sakit dan mungkin, memandangku
marah. Seiring waktu ia semakin melemah. Akhirnya ia berhenti dan terkulai
lemas di depan kakiku, dengan mata terbuka dan mulut ternganga. Kucabut
belatiku dari dadanya. Darah hitam terpancar keluar dari luka itu. Kubersihkan
belati suciku dengan gaun merah yang dipakai wanita itu.
Aku
memandangnya sejenak. Tapi lalu kutinggalkan juga akhirnya dengan darah hitam
menggenanginya. Rasa kecewa menyelimutiku, tapi tak kusangkal ada rasa puas di
sana. Satu jiwa kotor telah hilang, dan jiwa yang lain telah menunggu untuk
dibersihkan.
۞ ۞ ۞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar