Rabu, 08 Oktober 2014

Masyarakat yang Sehat? Bukan Masalah Mampu atau Tidak, Tapi Mau atau Tidak

Jika berbicara tentang kesehatan, sepertinya kita harus menyamakan persepsi terlebih dahulu tentang apa itu sehat. Sebab sampai saat ini paradigma orang tentang sehat berbeda-beda satu sama lain. Orang awam atau masyarakat umum tentu memiliki pandangan yang berbeda dengan ahli kesehatan. Kebanyakan masyarakat berpendapat bahwa tubuh yang sehat adalah sekadar tidak terjangkiti penyakit tertentu dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa gangguan penyakit. Intinya, pandangan orang awam terhadap sehat justru berpatokan pada kondisi tubuh yang sakit.
Hal tersebut bisa dilihat dari kebiasaan dan pola hidup masyarakat, terutama di Indonesia, yang masih jauh dari pola hidup sehat. Dalam kesehariannya, masyarakat baru peduli terhadap kondisi tubuh ketika sudah mengalami sakit. Sedangkan ketika kondisi tubuh normal, mereka kembali beraktivitas seperti biasa tanpa menghiraukan apakah yang dilakukannya baik untuk kesehatan atau tidak. Sebagai contoh, mengkonsumsi makanan cepat saji, menyenangi produk makanan instan, mengkonsumsi alkohol atau bahan aditif lainnya, merokok, menggunakan bahan-bahan pengawet ataupun bahan kimia tanpa memperhatikan dosis. Bahkan dengan kemajuan teknologi, masyarakat senang menggunakan peralatan elektronik (ponsel, komputer, televisi) tanpa mempedulikan batas-batas yang tidak mengganggu kesehatan. Slogan “Lebih baik mencegah daripada mengobati” sepertinya hanya menjadi kata-kata klise yang tak berarti apa-apa.
Sekali lagi, hal ini dikarenakan paradigma masyarakat yang sempit dimana sehat adalah ketika tidak sakit. Memang sehat sendiri tidak memiliki definisi yang pasti. Namun sebaiknya paradigma masyarakat yang seperti itu dibenahi kembali. Seperti diketahui bersama bahwa kondisi sakit sendiri ada dua macam. Pertama adalah kondisi sakit jangka pendek yang berlangsung saat itu juga bersama gejala yang menyerang. Kedua adalah kondisi sakit yang gejalanya membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan mencapai tahunan untuk membuat tubuh sakit. Kondisi yang kedua inilah yang biasanya lebih berbahaya dan cenderung diakibatkan oleh gaya hidup yang salah. Di sisi lain, pengertian sehat menurut masyarakat awam sebaiknya diperluas bukan hanya menurut kondisi fisik saja, tetapi juga mental dan sosial.
Di zaman globalisasi saat ini, sumber daya manusia memegang peranan penting dalam pembangunan negara. Salah satu faktor pendukungnya adalah kondisi SDM yang sehat, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara mental dan sosial. Sehat secara mental artinya memiliki emosi yang stabil, kondisi kejiwaan yang normal, dan psikis yang terkendali. Sedangkan sehat secara sosial berarti memiliki kemampuan dan kepekaan sosial, kepedulian terhadap lingkungan sekitar, serta skill yang mumpuni untuk diterapkan dalam masyarakat. Kondisi sehat dari ketiga aspek ini saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Kesehatan fisik tidak hanya dipengaruhi oleh kuman atau bibit penyakit, tetapi juga dipengaruhi oleh pergolakan emosi, serta kondisi lingkungan secara tidak langsung seperti lingkungan berpolusi yang diakibatkan sendiri oleh manusia.
Hal inilah yang kurang diperhatikan di Indonsia. Kesehatan fisik hanya diperhatikan saat sakit, kesehatan mental hanya dipandang sebelah mata, dan kesehatan sosial masyarakat semakin terdegradasi. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka SDM Indonesia akan tertinggal jauh. Sementara mulai tahun 2015 nanti Indonesia sudah masuk AFTA. Sebaiknya pardigma kesehatan yang sempit dalam masyarakat ini segera diperbaiki. Bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi amanah bagi mereka yang memiliki kapabilitas di dalamnya. Hal yang tidak kalah penting lagi adalah perbaikan paradigma ini sebaiknya bukan hanya menjadi wacana saja, tapi juga dilakukan langkah-langkah nyata baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Namun hal ini tentu saja kembali ke masyarakat Indonesia. Maukah mereka berubah dan mau memperbaiki paradigmanya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar